Penulis

Buku Putih Koran Pak Oles ditulis oleh Beny Ule Ander, jurnalis Koran Pak Oles. Sebuah "saripati" eksistensi koran sebagai media informasi yang mengedukasi pasar, konsumen dan branding perusahaan.
Kontak penulis di email aktif: benyuleander@gmail.com

KAWASAN TEMPUR

KAWASAN TEMPUR

Senin, 07 Januari 2008

VII SIMT Obornya, Gratis Strateginya

Ket: Peluncuran Tabloid Otomotif MONTORKU berlangsung meriah dengan peragaan busana model otomotif di Jak Resto dan Grill, Tuban, Kuta, 5 September 2004.

Denpasar, 25 Mei 2003 di Pak Oles Centre (POC). Albert Kin Ose Moruk (Pemred KPO & Montorku) dan Pimpinan Media Group Pak Oles, Dr Ir GN Wididana, M.Agr terlibat dalam sebuah diskusi serius tentang dua hal. Pertama, seputar konsep (visi dan misi) membangun industri informasi (cetak maupun elektronik). Kedua, tentang seberapa besar pengaruh ilmu pengetahuan dan managemen terhadap eksistensi sebuah industri di era globalisasi. Diskusi sampai larut malam itu bertepi pada simpul-simpul yang tak lazim. Karena sangat terbuka, dari hati ke hati, berbagi dari secuil pengalaman praktis, jelas tanpa terbungkus dalam rahim-rahim kamuflase.
Pada simpul-simpul nyeleneh itu, terurai dua topik bahasan secara lugas dan tegas dengan kemandirian sikap, —swadaya dan swakelola. Konsep pertama bermuara pada SIMT (Sistem, Informasi, Managemen dan Teknologi). Praktisnya, membangun sebuah industri media di era kekinian, minimal didukung Semberani (Keseimbangan dan Keberanian), Visi, Tujuan, Kualitas (isi=wartawan), Kuantitas (oplah dan areal distribusi), Iklan, Untung dan Sejahtera.
Sedangkan konsep kedua bertepi pada terciptanya industri, lalu barang (produk dan atau jasa), informasi, pasar dan akhirnya ada uang. Jadi, SDM yang ber-Iptek harus menghasilkan uang, barang dan atau jasa. Agar ada uang, barang dan jasa, selain tetap berjalan di atas SIMT, juga informasi harus diketahui pembaca secara gratis, cepat dan tepat. Koran Pak Oles dengan tiras 220 ribu eksemplar, tebal 16 halaman (8 halaman berwarna) itu diedarkan secara ngacak dan gratis sejak awal tahun 2000, dan Tabloid Otomotif MONTORKU, 24 halaman full colour sejak 5 September 2004.
Di London, Inggris, sejak Minggu pertama September 2006, terbit dua koran gratis; London Lite diterbitkan Asosiasi Surat Kabar Inggris dan Thelondonpaper milik juragan Koran ternama dunia, Rupert Murdoch. Keduanya terbit sore dengan 48 halaman full colour, bertiras 400 ribu eksemplar dengan sasaran pembaca kaum muda (18-35 tahun), generasi yang dianggap tidak punya kebiasaan membaca Koran. Kedua Koran ini, seperti ditulis Majalah TEMPO (Edisi 25 September-1 Oktober 2006, Kolom Media, Hal 52), ingin meniru sukses Metro, koran pagi gratis terbitan Asosiasi Surat Kabar Inggris dengan segmen pembaca kaum muda. Metro bahkan sudah menjadi ikon harian gratis di Eropa dan Amerika. Hingga Juli 2006, Metro sudah terbit di 14 negara Eropa dengan tiras 5,4 juta eksemplar, dan 1,9 juta pembaca tersebar di Inggris.
Bagi Murdoch, pemilik The Sun, The Times dan Sunday Times, melalui kelompok News International sudah menerbitkan koran gratis MX di Melbourne, Australia, dan Direct Soir di Paris, Perancis.
Di Indonesia, memang sudah banyak tabloid yang beredar gratis. Di Bali, misalnya ada puluhan tabloid (bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa Jepang) yang pernah terbit selama tiga tahun terakhir, namun cepat hilang dari peredaraan. Pemicunya, sangat klasik karena didera biaya produksi. Potret buram yang terus membuntuti eksistensi hidup matinya sebuah media gratis, termasuk yang tidak gratis, karena kurang kokoh fondasi SIMT, tidak memiliki produk yang siap dipasarkan, visinya melirik kue iklan sesaat, ingin cepat-cepat meraih untung dan tidak memiliki inovasi produk informasi, —ada media cetak dan elektronik.
Di simpul ini, hendaknya para pemilik modal dan pengelola yang berencana membangun industri media cetak, membangun visi baru. Soal ada tidaknya kue iklan dan apalagi untung, itu urusan paling buntut. Sebab, kue iklan tetap menjadi milik media-media top leader, baik terbitan Jakarta maupun di daerah. Para pemilik kue iklan itupun sangat terbatas dan tidak terbatas, tergantung negosiasi dan program yang dipatok para pengelola media.
Melihat fenomena pembangunan industri media di Indonesia belakangan ini, sudah saatnya bangkit kesadaran baru bahwa industri jurnalistik di Indonesia sedang menembakan pena-pena wartawan dari pers yang ideologisasi ke pers industrialisasi, bila tidak ingin ketinggalan kereta sama brosur, majalah, tabloid dan koran baru berlisensi luar negeri, yang tanpa harus menyusun konsep analisis soal kepentingan komunitas, tanpa harus menerapkan standar kerja jurnalistik ketat dan terlatih. Sejumlah majalah bisa langsung terbit dan laku, disokong kuatnya jaringan distribusi dan penjualan.
Meski begitu, hampir semua media gratis tetap berkiblat pada empat hal. Pertama, Manajemen Informasi (perancangan strategi dan kebijakan informasi yang menghasilkan data akurat bagi keperluan internal) maupun eksternal (penyampaian informasi tentang produk kepada masyarakat luas). Kedua, Teknologi Informasi (perancangan bentuk jaringan peralatan dan sarana untuk menunjang pelaksanaan strategi dan kebijakan data efektif dan efisien). Ketiga, Manajemen Komunikasi (perancangan strategi dan kebijakan komunikasi yang berperan menjalin pola komunikasi untuk promosi dan distribusi pesan tentang sebuah produk. Keempat, Teknologi Komunikasi (rancangan bentuk komunikasi efektif dan efisien dalam menyampaikan berita demi meningkatkan citra produk).
Akhirnya, mari kita renungkan dua media ternama di Asia Pasifik yang harus goodbye pada November 2001 dan akhir tahun 2004. Pertama, Time Inc dengan Asiaweek (majalah mingguan berbahasa Inggris yang cukup berwibawa untuk kalangan bisnis dan politik di kawasan Asia) berakhir hidup pada 29 November 2001. Asiaweek harus menyatakan goodbye Asia Pasifik dengan posisi 120.000 pelanggan. Padahal majalah ini sudah terbit sejak 1975 sesaat setelah Indonesia invasi ke Timor-Timur. Ini terjadi karena persaingan bisnis dan mendung perekonomian Asia yang menyebabkan perolehan iklan merosot drastis dalam 10 tahun terakhir.
Pesaing dekatnya, Far Eastern Economic Review, milik kelompok usaha Dow Jones & Co, yang seolah mendapat runtuhan durian dengan meraup pangsa pasar yang ditinggalkan Asiaweek menyusul tutup di akhir tahun 2004, meski sudah membangun reputasi spesifik di kawasan Asia Pasifik dan telah beroperasi lebih dari setengah abad (terbit pertama kali tahun 1946).
Jadi, dalam waktu berdekatan, dua mingguan berita berbahasa Inggris terbesar dan terbaik di kawasan Asia dengan reputasi jurnalistik terpercaya tutup begitu saja. Saat ini Asiaweek hanya ada di internet, daring (online), sedangkan FEER jadi jurnal bulanan untuk pelanggan dan pembaca terbatas. Di Indonesia, memang agak sulit ditakar, karena sangat mudah terbit dan sangat mudah tutup usia.
Apa yang sebenarnya terjadi? Inikah tanda-tanda berakhirnya peran media berita cetak, seperti yang sudah mulai diributkan sejumlah pemerhati media sejak pertengahan 1990-an mengiringi kemunculan internet? Benarkah faktor perkembangan teknologi jadi penentu yang mematikan media cetak? Mengapa setelah syarat SIUPP dicabut, ancaman bredel hilang, majalah berita dan koran berita ikut hilang di Indonesia? Apakah demokrasi tak lagi membutuhkan pers yang menyelidik dan memeriksa berbagai soal, plus pers yang menjaga kelangsungan demokrasi? Yang pasti karena tidak punya produk sendiri untuk menghidupi dirinya, dan tanpa mengusung visi misi jelas, diperpuruk krisis bisnis dan krisis rancangan grafis informasi; menurunnya jumlah pembaca, berkurangnya iklan, beratnya persaingan media berteknologi baru atau yang melulu lebih cantik, penuh warna dan menghibur.
Pada tikungan ini, tersemai gugahan pemacu daya kreatif membangun industri media bahwa di balik temaram plus minus media; jurnalisme tabloid dan jurnalisme infotainment yang digarap lebih fokus, pasti mendapat bidikan pasar yang memikat, dengan topangan yang menyatu dalam Sistem, Informasi, Managemen dan Teknologi. Sadar atau tidak, dalam rahim-rahim jurnalisme, seakan sedang terjadi pergeseran idealisme di tingkat politik redaksi meski agak tipis dibedakan; berita menjadi hiburan dan hiburan menjadi berita, sembari menebar prinsip klise; desain adalah perkara solusi, sedang gaya, hanya soal penampilan. Padahal, tanggung jawab jurnalistik adalah soal wilayah berita dan wilayah isi, dan inilah selebritisasi dunia jurnalistik Indonesia terkini, dengan menyedot pembaca jauh lebih banyak ketimbang sebuah media harian. Dan itulah salah satu ciri suksesnya gempuran konglomerisasi media bercorak infotainment dan tabloidisme.

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman