Penulis

Buku Putih Koran Pak Oles ditulis oleh Beny Ule Ander, jurnalis Koran Pak Oles. Sebuah "saripati" eksistensi koran sebagai media informasi yang mengedukasi pasar, konsumen dan branding perusahaan.
Kontak penulis di email aktif: benyuleander@gmail.com

KAWASAN TEMPUR

KAWASAN TEMPUR

Senin, 07 Januari 2008

I Pertaruhkan Visi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Kiprah dan eksistensi Koran Pak Oles di jagat informasi meninggalkan bertubi-tubi jejak pertanyaan di benak khalayak ramai termasuk para pelaku pers. Visi apa yang diembannya dan di mana letak kekhususannya dibanding dengan media cetak lain yang kala itu bertumbuh bak cendawan di musim hujan? Sementara insan pers dengan memicingkan mata berkomentar dingin. ‘’Ah, itu adalah media murni promosi. Reinkarnasi elegan dari brosur dan jurus lain dalam menyalurkan dana iklan Ramuan Pak Oles.’’ Wajar saja bila ada yang berkomentar lepas demikian. Karena saat ini berbicara tentang Pak Oles, orang langsung menunjuk pada Ramuan Pak Oles. Padahal kiprah Pak Oles tidak sebatas sebagai pengusaha jamu dan obat tradisional.
Tulisan ini mengupas kembali potret lika-liku membangun media informasi yang dikelola Pak Oles Center. Pembaca pun diajak untuk mengetahui lebih dalam bahwa media ini lahir dari sebuah pertaruhan visi dan pemikiran yang matang soal membangun dan merawat sebuah idealisme agar tetap tumbuh, terarah dan meraih sukses di lapangan praksis. Di negeri ini, banyak orang pintar dan sarjana genius yang terampil meramu wacana glomaritas soal pembangunan. Sayang hanya segelintir orang yang berani merintis jalan kecil menuju pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sekarang jalan itu telah berkembang menjadi sebuah konsep hidup yang harus terus didukung kiprahnya. Sebab di negeri maling ini, apa yang benar bagi rakyat belum tentu sejalan dengan kemauan dan kepentingan rezim penguasa.
Koran Pak Oles lahir dari sebuah rahim idealisme membangun, mengelola dan mengawal sebuah informasi secara terpadu. Isi idealisme itu bertaut erat dengan sepak terjang seorang Gede Ngurah Wididana yang berupaya membawa secercah perubahan dalam pembangunan bangsa. Langkah awal yang ditempuh terbilang baru di bumi pertiwi, yaitu pionir pertanian organik berbasis teknologi Effective Microorganisms (EM) pada tahun 1990-an. Pak Oles juga merambah kesehatan dengan memproduksi obat tradisional dan ranah otomotif dengan produk Spontan Power di tahun 1997, lalu Hexon (vitamin oli mesin) pada tahun 2005 dan Kudo (vitamin BBM) pada tahun 2006. GN Wididana ingin mengawal informasi teknologi EM sebagai teknologi alternatif untuk pembangunan pertanian, kesehatan dan otomotif berwawasan ekologis. Saat itu, teknologi EM masih dicurigai sebagai racun tanah dan tanaman. Karena itulah Wididana terdorong menyebarkan informasi yang benar kepada masyarakat soal aplikasi teknologi EM. Awalnya terbit dalam bentuk buletin dengan nama Majalah Sehat yang terbit pada Mei 2000. Dikelola Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) & Humas PT Karya Pak Oles Tokcer.
Pada tahun 2001, Majalah Sehat berubah format dalam bentuk koran dengan nama Koran Pak Oles. Moto yang diusung: Organik, Lestari, Sejahtera (OLES). Uniknya, koran ini terbit setiap hari raya keagamaan. Sudut atas dihiasi logo Bunga Padma bertulis GNW yang merujuk nama asli Pak Oles (Gede Ngurah Wididana). Organik artinya teknis pengelolaan pertanian yang menghasilkan produk berkualitas tanpa penggunaan pupuk kimiawi dengan tetap mengutamakan standar higienes. Penerapan sistem pertanian organik yang baik membuat tanah subur, hasil panen meningkat, lingkungan tetap lestari, dan masyarakat (petani pedesaan) dapat hidup sejahtera. Moto ini secara sederhana menggambarkan revolusi kelola pertanian mikro yang dirancang-bangun Pak Oles. Pengelolaan potensi mikroorganisme selaku tiang utama mendukung revitalisasi pertanian.
Konsep agrobisnis harus dimulai dari desa, tempat (lokasi) pusat pertanian berada. Lalu dibentuk unit bisnis yang didukung produksi dan pemasaran yang baik. Roda agroindustri akan berjalan bila didukung informasi yang baik. Jika semua komponen berjalan terarah dan fokus, maka pertanian makro akan terwujud. Koran Pak Oles menempatkan diri sebagai media informasi aplikasi EM di bidang pertanian, peternakan, pengolahan limbah/sampah, kesehatan dan otomotif.
Tidaklah berlebihan Koran Pak Oles pun menjadi roh yang menghidupi eksistensi teknologi EM. Di bawah kolong langit ini peran media sebagai pembangun opini publik dan pencitraan produk barang dan jasa belum tergantikan. Buktinya media pun berkembang dalam arah horizontal diversivikatif. Media cetak, media elektronik (televisi & radio) dan kini media digital (inter networking). Itulah sebabnya wacana teknologi EM tidak mati muda di lalu lintas revitalisasi pertanian Indonesia yang kini lagi jeblok akibat kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah!!!
Koran Pak Oles tidak distel menjadi “pers priyayi” yang beritanya melingkar-lingkar di wilayah kepriyayian. Kecenderungan eksekutif dan masyarakat Indonesia adalah melihat persoalan dari satu segi. Kecenderungan ini mendesakkan dimensi cara, termasuk dimensi permasalahan dan etika. Koran Pak Oles mempunyai kewajiban untuk melengkapi kecenderungan tersebut dengan menyajikan visi, menampilkan ragam dimensi, menyoroti dan menekankan dimensi yang terdesak ke belakang. Itulah makna peran Pak Oles Center selaku pengelola dan pengawal informasi.
Keterangan Foto: Dari "Warta Oles" yang terbit Mei 2000 berubah format menjadi "Majalah Sehat" pada tahun 2001.

II Merekam Jejak ‘’Membangun Desa Membangun Bangsa’’

Media massa dalam kiprahnya di jagad pemberitaan mengusung liputan berita bernilai pencerdasan kehidupan bangsa dan berisi sajian informasi. Ya, termasuk pernak-pernik hiburan.
Itulah tipikal dasar institusi pers yang selalu bergulat sebagai media kontrol sosial dan media informasi. Peran pers sebagai media pencerdas diungkap wartawan senior Indonesia Rosihan Anwar sebagai suatu tugas terberi yang tidak bisa dihapus, mengalir dalam urat nadi pers dan menjadi napas pers hingga kekekalan. Jauh sebelum Republik ini terbentuk, sebelum adanya UUD 1945 maupun institusi TNI, tugas pers (Indonesia) dari dulu hingga kini tetap sama, --mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tugas pencerdasan kehidupan berbangsa secara inheren berkait lekat dengan eksistensi pers sebagai lembaga kemasyarakatan. Pers berada di tengah masyarakat tetapi bukan milik masyarakat. Pers berjalan bersama pemerintah tetapi bukan alat pemerintah. Sebaliknya pers bisa mempengaruhi pemerintah dan masyarakat. Sementara masyarakat yang dinamis membawa banyak tuntutan perubahan dalam pengelolaan pers.
Langkah strategis terkait pencerdasan kehidupan bangsa dipahami Koran Pak Oles sebagai kesadaran untuk ikut ‘’memprovokasi’’ pola-pola fanatik pembangunan ekonomi kerakyatan. Barangkali di sinilah ‘neraka’ bagi eksistensi pers. Banyak media yang lahir lalu mati, dan kadang harus mati muda karena kegagalan menyuluh untuk perubahan-perubahan mendasar yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Mereka (media) gagal dalam berinvestasi visi karena ada kecenderungan media sekarang untuk sekedar ada sebagai bacaan alternatif. Padahal, masyarakat Indonesia yang masih tergolek di jurang kemiskinan membutuhkan pers yang mengawal segala upaya dalam merintis pilar-pilar pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Pers harus memiliki keberanian untuk terus menatap ‘menara mercusuar’ kesejahteraan. Apalagi di abad 21 ini semua aliran ideologis maupun mazhab yang tidak mampu membawa kesejahteraan akan ditinggalkan pengikutnya. Yang tertinggal adalah ‘ideologi kesejahteraan’. Dalam bilik ini, Koran Pak Oles menyatukan langkah dengan visi pengelolaan pertanian Indonesia berbasis organik, —teknologi Effective Microorganisms (EM) sebagai maskot. Menara mercusuar yang dibangun lalu dirangkum dalam kesetiaan memberitakan kesuksesan dan kepincangan pengembangan pertanian organik yang ramah lingkungan, plus peternakan, pengolahan limbah dan berdirinya sendi-sendi agrobisnis di pelosok-pelosok desa.
Koran Pak Oles berani tampil sebagai pionir media yang memberitakan pengembangan pertanian organik dengan sebuah teknologi ramah lingkungan yang dibutuhkan dunia terkini. Lingkungan alam tempat manusia menyandarkan hidup dan kehidupan anak cucunya telah rusak oleh praktek-praktek pertanian modern yang menggunakan pupuk agrokimiawi dan bahan-bahan pestisida. Siapa dan institusi manakah yang berani menggugat praktek pertanian di Indonesia yang ‘menipu’ petani dan akhirnya produksi pangan nasional menurun drastis setiap tahun? Akademisi manakah yang kini berani berteriak lantang sembari memberi contoh peningkatan kualitas dan kuantitas pangan kepada para petani di desa?
Koran Pak Oles telah memberi warna pembangunan pertanian dengan mengangkat sebuah ‘desa laboratorium’ yaitu Desa Bengkel, Banyuatis, Buleleng, Bali. Di sana berdiri Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA). Banyak petani, kalangan instansi pemerintah, pelajar, ilmuwan, praktisi pertanian dan peternakan datang dari Sabang sampai Merauke belajar pertanian organik dan aplikasi teknologi EM untuk peningkatan produksi tanaman, ternak, dan pengolahan limbah. Di Desa Bengkel juga mereka melihat langsung tanaman pertanian dan peternakan yang dikelola dengan teknologi EM, juga menyaksikan kegiatan industri pertanian dengan menyambangi pabrik yang memproduksi Ramuan Pak Oles, berbahan baku tanaman pertanian dan perkebunan. Di sana, mereka menyadari, masyarakat pedesaan tidak perlu berduyun-duyun pindah mencari kerja ke dan di kota. Karena bukankah urbanisasi tidak lain sebagai upaya memindahkan kemiskinan dari desa ke kota?
“Scripta manent verba volant,—Yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.” Koran Pak Oles dalam rubrik-rubriknya akan terus merekam semua langkah, contoh dan upaya pembangunan desa yang identik dengan pembangunan negara. Desa maju, kota sukses dan negara pun sejahtera. Sebelum berlari seribu langkah, seseorang setidaknya mulai dengan satu langkah. Sebelum berwacana membangun negara, adalah tepat secara diam-diam memberi contoh pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Kalau Drs Moh Hatta masih hidup ia akan tersenyum bangga melihat ekonomi masyarakat pedesaan terus mengepul di sela-sela pucuk tanaman.
Keterangan Foto: Koran Pak Oles identik dengan idealisme yang dirajut GN Wididana yang populer disebut Pak Oles dalam merintis pola-pola pertanian organik berbasis teknologi EM di Indonesia.

III Desain Norak Hingga Tipografis Paten

Titik tolak utama dalam menulis kembali sejarah perjalanan sebuah media massa adalah tahapan penelitian dengan asumsi bahwa setiap penelitian adalah suatu penggalian jejak secara ilmiah- akademis. Standar normatif akademik yang dirakit adalah catatan perkembangan oplah dalam perjalanan Koran Pak Oles, tempat cetak, perubahan desain/format (resizing) dan tipografis paten. Lalu dikemukakan reaksi pasar.
Media adalah milik publik. Maaf, meski sebuah media punya owner dalam segi permodalan. Namun dalam kerangka ideologi pers, jiwa pers adalah idealisme para jurnalis yang terkristal dalam realisasi visi dan misi media. Dalam alur ini, Koran Pak Oles mempertegas identitas sebagai media bangsa. Pemilihan term ini untuk menghindari salah pengertian antara media lokal dan media nasional. Koran Pak Oles memang terbit di Bali tetapi wilayah distribusinya di 9 propinsi, yaitu Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Selaku media bangsa, KPO tidak luput dari kisah jatuh bangun dalam pengelolaan SDM dan perubahan tampilan (format).
KPO membangun sendiri pola rekrutment SDM dan pola distribusi yang unik. Dalam mencetak jurnalis yang cerdas, peka terhadap kebutuhan masyarakat, bertanggung jawab dan berani, manajemen PT Visi Media Pak Oles menetapkan pilihan merekrut ‘’wartawan pemula”. Pilihan ini lahir dari sebuah proses pergulatan. Sebuah media menjadi hidup dan bergairah bila awak redaksi berjalan dalam koridor idealisme dan bersama menjaga nyala api kerja sama dan tentunya pengorbanan. Sebab pilihan menjadi jurnalis adalah keputusan untuk menghidupi sebuah profesi bukan sebatas menyelesaikan suatu pekerjaan.
Wartawan baru tentunya mengikuti pelatihan demi pelatihan. Pak Oles Center mengundang wartawan senior syarat pengalaman seperti Justin Maurits Herman, GM Radar Bali (Jawa Pos Group), Komang Yanes Setat (wartawan Antara dan mantan Ketua AJI Denpasar), Frans Sarong (Kepala Biro Kompas Nusra), Paul Amalo (Wartawan senior RRI), Rusdi Amral (mantan Pemred HU Surya). Mereka terus memberi pelatihan dan penyegaran berkala soal materi jurnalistik dan tren perkembangan pers terkini. Wartawan pemula menjalani proses pembelajaran atau magang selama 3 bulan. Bila mengalami perkembangan dipromosikan menjadi wartawan. Jika tidak berkembang disarankan untuk memilih profesi lain. Tentu saja proses seleksi ini dipertimbangkan dengan tepat karena tidak ada waktu lagi untuk sekedar mendidik wartawan pemula yang tidak yakin dengan visi dan misi media ini ataupun yang tidak memiliki mental investasi dalam meniti profesi wartawan.
Pola distribusi KPO sangat unik dan berbeda dari pola-pola penyebaran media cetak konvensional. Redaksi bertugas memproduksi berita yang bermutu dan berkualitas. Sementara, distribusi KPO sepenuhnya menyatu dengan ritme kerja SPG Ramuan Pak Oles. Setiap hari, KPO diedarkan secara gratis oleh tim SPG secara acak di berbagai tempat dan lokasi. Karena itu, KPO tidak mengenal sistem retur. Koran gratis ini mengalami perkembangan oplah yang boleh dibilang amat berani. Terbit awal dari 5000 eks lalu menjadi 10000 eks. Ternyata kehadiran KPO dirasa tepat untuk menyosialisasikan pertanian organik dan kesehatan berbasis herbal. Lantas, KPO dicetak dengan oplah 40.000 eks., meningkat jadi 70.000, melonjak lagi mencapai 100.000 eks. Pada tahun 2004, KPO beredar dengan oplah 150.000 eks. Pada semester II, 2004 hingga kini, KPO telah mencatat oplah tertinggi sampai 220.000 eks. Perkembangan oplah ini diikuti dengan perpindahan tempat cetak dari Temprina (Jawa Pos Group) di Denpasar ke PT Antar Surya Jaya Surabaya (Gramedia Group) agar beban distribusi ke Lampung, Jawa, Sulsel dan Bali menjadi cepat, mudah dan lancar.
Pada tahun 2005, KPO mengalami proses resizing, tampilan wajah, penambahan halaman dari 12 halaman menjadi 16 halaman. Tentunya ada rubrikasi baru yang menjadi sendi dinamisme sebuah lembaga pers dalam merespon reaksi konsumen dan mempertajam visi maupun misi media. Keputusan resizing memang dinilai tepat. Dalam tampilan yang futuristik, ciamik dan sporty, KPO mempertegas identitas sebagai media yang mandiri, penuh dinamika dan berani tampil beda dengan desain yang kerap ‘norak dan nyeleneh”. Apalagi slogan Jangan Anggap Enteng, kian memprodusir keyakinan diri bahwa dalam hal tipografis, KPO mengedepankan tren terkini perkembangan media plus pilihan pribadi untuk mendesain identitas diri. Tidaklah benar bila perubahan format media tanpa arah dan rencana matang. Juga tidak sembarang media melahirkan rubrikasi baru yang harus terus dihidupi dengan pendalaman materi liputan.
Kategori berita yang disaji memenuhi kriteria penting, menarik dan mengandung hiburan. Tentunya diperkuat referensi (references) dan daftar bacaan (list of readings). Dengan begitu pembaca akan tahu pemikiran mana dan fakta mana berasal dari siapa dan tahun berapa. Suatu keteledoran serius di dalam dunia jurnalistik akan mendapat sanksi publik. Koran itu ditinggalkan pembaca.

IV Menguji Efektivitas Dan Efisiensi Perusahaan

Pada bab ini, publik diajak untuk membedah efektivitas dan efisiensi PT Karya Pak Oles Tokcer mendirikan Divisi Humas Pak Oles Center yang mengelola dua media, Koran Pak Oles (KPO) dan Tabloid Otomotif Montorku. Menilik pengambilan nama OLES menimbulkan kesan ‘koran yang dikelola asal-asalan’. Sabar dulu! Oles adalah nama historis yang tak bisa dihapus begitu saja, apalagi disangkal keberadaannya. Oles berarti: Organik, Lestasi, Sehat dan Sejahtera.
Sebuah visi yang tajam, jelas dan merakyat. Perlu ditulis ulang sebagai pintu masuk penegasan eksistensi KPO bukan sebagai media promosi setara brosur atau pamflet iklan. Meski ada iklan full tentang produk Ramuan Pak Oles dan ulasan soal kegiatan perusahaan.
Pendirian atau eksistensi dan kontinuitas sebuah media massa bersendikan 4 pilar ‘konvensional’ meliputi visi dan misi dengan cakupan idealisme yang ingin direngkuh, barisan SDM meliputi awak redaksi, tim marketing dan distribusi yang memiliki kecerdasan inovatif dan emosional, sistem manajemen yang terorganisir, dan terakhir adalah sumber dana atau modal ‘awal’ menuju tahapan break event point.
Visi, misi, perekrutan SDM dan distribusi KPO sudah dipaparkan pada tulisan sebelumnya. Yang perlu diulas adalah soal iklan. Sebagai media, jelas KPO membutuhkan iklan sebagai napas pembiayaan operasional. Iklan itu adalah Ramuan Pak Oles. Jadi KPO sebatas mempromosikan ramuan tradisional racikan Dr Ir GN Wididana, M.Agr yang lalu populer dengan panggilan Pak Oles? Sabar dulu. KPO adalah media yang dibangun perusahaan obat tradisional ini untuk mempercepat proses penyebaran informasi soal pengembangan dan aplikasi teknologi Effective Microorganisms (EM) di bidang pertanian, kesehatan, peternakan dan pengolahan limbah.
Dan dalam perkembangannya, KPO kini kian memantapkan diri sebagai media cetak yang memperjuangkan pasar jamu tradisional di Indonesia. Inilah keputusan taktis yang visioner. Bayangkan, KPO tidak sekedar menulis produk Pak Oles, tetapi juga dengan serius memberitakan perkembangan produk-produk obat tradisional di Indonesia, termasuk Jamu Djago, Nyonya Meneer, Mustika Ratu, Sido Muncul, Marta Tilaar Spa, dan perusahaan jamu tradisional lainnya. Kompetisi pasar domestik ditinggalkan lalu dibangun segmen pasar obat tradisional. KPO terus berupaya menjadi media yang menyajikan berita soal standar mutu, khasiat dan respek pasar obat tradisional.

Pilihan membangun media sendiri adalah langkah strategis dalam pengawalan berita yang sistematis, terarah dan kontinyu. Plus, memangkas biaya advetorial, budget iklan dan penciptaan lapangan pekerjaan. KPO memang bukan pintu tunggal mengalirkan ragam informasi soal pengembangan dan aplikasi teknologi EM di berbagai bidang kehidupan. Ada APNAN News yang menyajikan berita EM di berbagai belahan dunia. Juga media massa, cetak maupun elektronik di Indonesia mulai memperkenalkan aplikasi teknologi EM di bidang pertanian, kesehatan, peternakan dan pengolahan limbah.
Namun setidaknya, KPO menjadi media yang secara rutin menyajikan dan mengulas sekaligus sumber informasi teknologi EM bagi khalayak ramai, terutama praktisi pertanian organik di Indonesia. Dalam visi yang luas, KPO menempatkan jati diri sebagai media yang konsisten mengalirkan komunikasi visi, misi, dan program pengembangan teknologi EM bagi kelestarian lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. Sebuah visi yang sangat abstrak dan ada rasa mustahil mewujudkannya di medan praktis. Tetapi perjalanan 7 tahun (2000 – 2007) bukanlah waktu yang singkat.
Koran yang diedarkan secara gratis di Indonesia dengan oplah yang besar menjadi bukti faktual bahwa KPO berjalan di koridor manajemen yang tepat. Informasi teknologi EM menjalar cepat dari kota ke desa dan dari dusun ke dusun. Apalagi KPO diedarkan SPG Ramuan Pak Oles yang menjelajahi pemukiman warga dan menerobos masuk daerah terpencil, tanpa mengenal sistem retur.

Sebuah idealisme yang tidak digantung di menara gading teoritis. Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) sebagai pusat pendidikan kilat dan pelatihan terpadu aplikasi teknologi EM dikunjungi praktisi pertanian dari Sabang sampai Merauke, dan aktivitas direkam dalam rubrik-rubrik KPO. Suatu proses yang berjalan maksimal. Sebab apalah artinya membangun sebuah idealisme sementara perut keroncongan. Bukankah idealisme apapun termasuk membumikan cinta kasih berbuah kesejahteraan?
KPO sampai kapanpun harus dan di dalam ‘jiwanya’ terpatri, terpahat dan tertanam semangat militansi memasyarakatkan teknologi EM. Gairah militan ini lahir dari puncak kesadaran bahwa sebuah upaya nyata untuk menyejahterakan masyarakat, menjaga kelestarian alam dan meningkatkan produktivitas pangan dunia harus dipertahankan ‘habis-habisan’ di tengah budaya kapitalis yang angkuh, mengeksploitasi alam dan mengeksploitasi berita demi untung, saham, duit dan kerajaan bisnis.
Karena itu KPO secara eksternal harus siap menjadi musuh dan sasaran cercaan media massa yang asal menyajikan ‘upaya-upaya bulus’ program pertanian organik atau aneka proyek pertanian, peternakan atau pengolahan limbah musiman yang selalu terbukti merugikan rakyat. Mengapa? Jawabnya sederhana. Kehebatan sebuah program harus berujung pada kesejahteraan rakyat. Bila program demi program pembangunan terus bergulir tetapi perut rakyat terus kembang-kempis pasti di sana ada pembohongan sistematis. Haruskah KPO sebagai media penghubung pemerintah dan masyarakat menjadi kaki tangan propaganda program palsu?
Di titik ini, KPO tidak mencari atau mengupayakan publisitas semu. Benarkah? Publisitas dirancang terutama untuk menarik perhatian dan menciptakan kesadaran. Publisitas mengolah kesan yang disukai atau tidak disukai. Publisitas bisa dipandang sebagai suatu hasil, konsekuensi atas beberapa pemunculan atau dikenalnya beberapa informasi, bisa atau tidak bisa dikendalikan. Karenanya tidak semua publisitas dicari tetapi dihindari, mungkin melalui suatu kebocoran atau kehati-hatian.
Ya, terlontar kegamangan. Bukankah publisitas merupakan instrumen yang tidak efektif dalam meningkatkan penjualan? Anthony Davis, pakar PR asal Amerika dan penulis Everything You Should Know About Public Relations (2003) memberikan jawaban memuaskan. Jika publisitas yang dilakukan tidak memiliki ketepatan pesan, isi dan arah, maka publisitas jelas merupakan instrumen yang tidak efektif untuk meningkatkan penjualan. Jika publisitas ditanggapi serius, maka penjualan pun jelas meningkat. Kreativitas rubrikasi dan pengolahan materi adalah inti dari publisitas.
Sebuah media komunikasi yang profesional, sistematis, fokus akan berinkarnasi jadi lembaga pers. Itulah sebabnya, singgung Davis, banyak jurnalis yang kemudian melamar jadi PR. Bukan karena PR sebuah pekerjaan yang jauh dari tekanan deadline tetapi karena sistem kerjanya lahir dari sebuah kesadaran untuk meramu dan mengawal informasi hingga mencapai sasaran dituju.

Keterangan foto: Tren koran gratis bukan pada kekuatan modal uang, tapi pada kekuatan visi dengan sistem kerja yang tepat. KPO diedarkan oleh tim SPG setiap hari secara acak di berbagai tempat.

V Membangun Media Gratis Dalam Koridor Jurnalistik

Ket: Perekrutan wartawan pemula disertai dengan pendidikan jurnalistik yang diberikan oleh para wartawan senior dari Antara. Penyegaran materi jurnalistik rutin digelar di POC.

Sejarah pertumbuhan media massa tidak terlepas dari perebutan kue iklan lokal, nasional dan internasional di era global ini. Banyak koran yang bangkrut karena tidak kebagian kue iklan alias kalah bersaing. Ada media tertentu yang memilih milah khalayak demi kepentingan iklan. Isinya sengaja dibuat untuk mereka yang punya minat, kepentingan, aspirasi atau hobi yang sama. Media seperti ini, menurut William L Rivers punya khalayak terbatas tetapi disukai pengiklan yang produknya sesuai. Contoh majalah-majalah Surfing, Cosmo, Government Photography atau Musikal Electronis.
Benarkah media yang tidak tergantung pada iklan bisa hidup? Tidak semua media mengandalkan iklan sebagai sumber pendapatan utama. Ada koran bisa hidup tanpa iklan selama dua hingga tiga abad, termasuk majalah. Bahkan, buku dan film tidak pernah tergantung pada iklan. Coba lihat majalah saku Rider’s Digest yang terbit perdana di sebuah kolong bangunan di Greenwich Village dari tahun 1922 hingga April 1955. Selama 33 tahun, Rider’s Digest tidak pernah memuat iklan.
Meski begitu, isi setiap media massa berjuang untuk memaksimalkan khalayak yang dituju. Biaya produksi media apa saja bersifat tetap. Namun bila suatu media berhasil melampaui titik impas (break event point), laba yang diperolehnya sangat besar. Karena itulah media berlomba jangkau pasar demi melampaui titik impas dan meraih laba.

Ket: Calon wartawan angkatan tahun 2007 sedang mengikuti pelatihan jurnalistik di POC.Tidak semua pengelola (pemilik) atau penanggung jawab media ‘dikaruniai visi’ jalan cepat melampaui titik impas dan meraih untung. Banyak media mati muda. Diawali perselisihan karyawan (wartawan/ti) dan manajemen soal gaji dan status karyawan seperti yang pernah dialami koran kriminal Pos Kota yang lalu menjadi Bengawan Pos. Di Bali sendiri sudah puluhan koran lokal terpaksa gulung tikar. Sementara Koran Pak Oles (KPO) bisa bertahan di atas tujuh tahun, dicetak dalam oplah yang besar dan diedarkan gratis di Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, NTB dan Makassar. Gratis, kog tidak mati-mati? Perlu ditanya, kenapa?
  1. Membaca Tren Koran Gratis

Selama ini Koran Pak Oles dan Montorku menancapkan garis edar berita mingguan secara gratis kepada pembaca. Tren media gratis ini sebenarnya sudah menjadi trend industri media massa modern.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, industri surat kabar di seluruh dunia telah menyaksikan betapa cepatnya perkembangan koran gratis kelompok usaha penerbitan Metro yang berbasis di Swedia, telah merambah ke puluhan kota metropolitan di seluruh penjuru dunia. Metro, yang diterbitkan oleh Metro International, yang hadir pertama kali tahun 1995 di Stockholm, kini telah hadir di 78 kota di 17 negara dalam varian 56 edisi. Bersama Metro, kini juga hadir harian 20 Minutes –diterbitkan oleh Schibsted dan bermarkas di Paris—yang telah terbit sebanyak 13 edisi di tiga negara. Di Inggris Raya, Metro yang diterbitkan oleh Associated Newspapers juga beredar di delapan wilayah negeri itu secara gratis.

Ket: Ruang awal pemred saat baru pindah kantor dari Jl Komodo ke Jl Neptunus. Awalnya dirintis dalam kesederhanaan dan keterbatasan fasilitas, tapi inovasi dan kreativitas terus diproduksi.

Harian pagi gratis Metro di London, misalnya, kini sudah menyebar ke beberapa kota lain di luar Manchester dan setiap harinya mencapai oplah sekitar 1,9 juta, lebih tinggi dari koran-koran ternama Inggris seperti The Times atau The Guardian, yang masih harus dibeli.
Kalau koran Metro diletakkan di rak-rak kereta api atau bis agar orang tinggal mengambil sendiri. Sedangkan dua Koran gratis lainnya yaitu The Londonpaper dan London Lite secara aktif ditawarkan kepada orang yang lalu lalang saat jam pulang kantor di Kota London. Rata-rata dicetak 400.000 ex setiap hari. Jelas pemasang iklan tidak keberatan menghabiskan ongkos iklan ke koran bersangkutan.
Meski didistribusikan gratis, tapi sasaran sama yakni meraih konsumen/pelanggan sebanyak-banyaknya. Artinya koran tetap gratis tapi keuntungan mengalir. Dan memang begitulah tren di beberapa tempat dunia.
Di Kopenhagen, ibukota Denmark, tahun 2006 saja terbit 4 koran gratis. Jadi apakah kelak koran di masa depan akan gratis semua?

  1. Strategi Liputan Koran Gratis Agar Tetap Dibaca Pembaca
Saat ini tak sulit menemukan majalah atau tabloid yang membahas masalah teknologi informasi atau masalah supranatural. Pembaca memiliki banyak pilihan sesuai dengan informasi yang dibutuhkan.
Banyaknya majalah dan tabloid di pasaran menjadi persoalan bagi pengelola media cetak. Di samping persaingan yang ketat antara sesama majalah dan tabloid di segmen dan positioning yang sama, kehadiran majalah gratis juga menambah runcingnya persaingan memperebutkan pembaca dan pengiklan. Jumlah majalah dan tabloid yang bertambah tiap tahun tidak sebanding dengan perolehan kue iklannya. Nielsen Media Research mencatat, majalah dan tabloid memperoleh sekitar empat persen kue iklan nasional.

Sementara kehadiran internet dan media digital sebagai media informasi dan berita juga menambah beban persaingan media cetak ini. Bila teknologi internet mampu menembus seluruh pelosok Nusantara, bisa dipastikan menggerus jumlah pembaca majalah dan tabloid. Internet dan media digital akan menjadi alternatif pengiklan sebagai sarana promosi merek mereka.
Dari sejumlah fenomena global yang berkembang di industri suratkabar tersebut, fenomena koran gratis rupanya belum menjadi tren yang berkembang di Indonesia. Ini sangat beralasan jika mayoritas pasar pembaca surat kabar gratis adalah para pengguna transportasi publik bawah tanah, maka prasyarat ini di Indonesia memang belum tersedia. Namun begitu, perkembangan lain yang melanda industri surat kabar global dan nasional yaitu membangun kualitas berita yang bermutu, mendidik, menarik dan menghibur pembaca.
Saat ini terjadi ‘perang tanding’ antara koran-koran nasional dan koran lokal/daerah. Koran-koran nasional kini mengusung muatan lokal. Tengoklah Kompas, Koran Tempo, Republika maupun Seputar Indonesia (Sindo), yang setiap pekan mengeluarkan halaman khusus berita-berita seputar Jawa Barat atau Jawa Timur. Para pengelola surat kabar nasional tampaknya ingin mengadopsi asas proximity yang selama ini diandalkan pemain surat kabar daerah. Lalu azas apa dalam koridor jurnalistik yang bisa dibangun menjadi ciri atau karakteristik dua media gratis yang terbit di Bali ini?
Lalu apa langkah-langkah strategis yang dibangun oleh SDM yang berkecimpung di Media Pak Oles Group. Meski media gratis tapi tidak dibuang ke tong sampah. Tulisan bisa dibaca kapan saja dan tidak dirasa basi oleh pembaca. Reaksi pembaca adalah tolok ukur mutu liputan dan tampilan. Karena itu wartawan KPO didorong dan dilatih membangun gaya tulisan/laporan yang mengarah pada tulisan evergreen.
3. Gratis Tapi Untung, Tanya Kenapa?
Efisiensi untuk menjangkau khalayak luas, itulah jalur yang ditempuh. Meski tidak bergantung total pada kue iklan lokal apalagi iklan yang konon dianggap nasional, KPO tetap menyadari besarnya pengaruh khalayak terhadap kandungan rubrikasi dan isi media. Demi menjangkau khalayak yang sebanyak-banyaknya, media akan sedapat mungkin menyesuaikan diri pada selera, kepentingan dan atau nilai-nilai mayoritas. Itulah aspek dinamika KPO sebagai lembaga pers yang tetap mengusung ideologisasi pers dan industrialisasi pers.
Pernyataan riil soal siapa pembaca KPO sudah bisa dijawab lugas dan tuntas. Ya, tentu mayoritas konsumen Ramuan Pak Oles. Liputan yang besar pada sebuah surat kabar niaga mungkin dianggap sebagai indikasi sukses dalam kaitannya dengan pers, sementara liputan di antara media yang melayani konsumen akan lebih relevan daripada hanya liputan yang dilakukan pesaing. Karena itu, KPO tidak dibangun dengan ‘gairah’ ekspansi oplah untuk bersaing secara liar dengan media lain tetapi tetap ekspansi informasi yang seluas-luasnya. Itulah jalan smart mengamankan titik impas plus membuka jalan lempang menabur visi pemberdayaan komunitas pertanian organik, pertambakan, perikanan, pengolahan limbah, kesehatan manusia berbasis teknologi effeftive microorganisms (EM).
Dengan kekuatan media, sebuah produk atau aneka program bisa diukur atau direkam efektivitas dan efisiensinya bagi internal perusahaan dan gemanya bagi publik. Jika efektifitas dan efisiensi sebuah proses produksi atau kegiatan sebuah perusahaan ada parameternya, tentu memudahkan pimpinan perusahaan dalam menentukan sebuah patokan kebijakan yang harus dituju dan tentu diraih. Sebenarnya sudah banyak perusahaan yang tahu atau peduli dengan kekuatan media ini. Namun, biasanya enggan membangun media sendiri. Mereka melimpahkan pekerjaan yang bisa dan seharusnya dilakukan oleh tim internal ke agency periklanan atau perusahaan riset. Akibatnya terjadilah pembengkakan biaya, informasi yang ditangkap publik bisa bias, kabur dan visi akbar yang diusung untuk kesejahteraan bersama akhirnya mendekam di deretan halaman AD/RT perusahaan.

Ket: Perekrutan wartawan pemula disertai dengan pendidikan jurnalistik yang diberikan oleh para wartawan senior. Penyegaran materi jurnalistik rutin digelar di POC.

VI Bara Yang Tak Kunjung Padam

Ket: Karyawan Pak Oles Center menurunkan Koran Pak Oles dari truck ekspedisi yang datang dari percetakan PT Antar Surya Jaya Surabaya (Kompas Gramedia Group).

Adalah asumsi-asumsi yang cukup mengemuka dan terus mengiringi tujuh tahun ada dan hadirnya Koran Pak Oles (KPO) secara gratis di beranda-beranda pembaca, teristimewa konsumen Ramuan Pak Oles. Pertama, asumsi penuh keprihatinan; ‘’Media ini akan mematikan semua perusahaan atau unit-unit bisnis yang sudah dirintis Pak Oles’’. Kedua, asumsi penuh kepastian; ‘’ Pak Oles pasti menyiapkan dana sekitar Rp 20 millyar sehingga KPO lalu tabloid otomotif MONTORKU bisa digratiskan kepada pembaca’’. Ketiga, asumsi penuh tanya, ‘’Dari mana uang untuk mencetak KPO dengan jumlah tiras di atas 100.000 bahkan bertengger di 220.000 eksemplar per edisi’’. Keempat, asumsi penuh keraguan, ‘’Adakah bantuan dana dari lembaga asing untuk menghidupi dua media cetak dan dua media elektronik, —Radio Pak Oles FM dan Radio HEXON FM’’.
Ket: Setiap edisi, Koran Pak Oles didistribusikan ke setiap cabang se-Indonesia. Distribusi KPO ini telah menjadi bagian dari kerja sama dengan percetakan PT Antar Surya Jaya Surabaya.

Mengaca pada judul tulisan Bara Yang Tak Kunjung Berabu itu, maka asumsi-asumsi itu sah-sah saja, sekalipun itu berselimut realitas plus-minus atau hitam-putih yang penuh nuansa debat kusir di ranah publik nan kompromis. Hanya saja, ceceran realitas, bisa saja plus-plus dan minus-minus, dan atau hitam ya hitam lalu putih tetap putih. Izinkan kami mengutip kalimat Thomas Jefferson berikut untuk memperkaya catatan ini. ‘’Jika saya harus memutuskan, memilih pemerintahan tanpa koran atau koran tanpa pemerintahan, saya tak akan ragu memilih yang kedua’’. (Surat kepada Kolonoel Edward Carrington, 17 Januari 1787). Bila pernyataan ini diajukan dari sisi bisnis kepada Pak Oles sesuai eksistensi media Group Pak Oles, ‘’Jika anda harus memutuskan, memilih membangun bisnis tanpa media atau media tanpa membangun bisnis, tentu jawabnya agak berbeda karena yang pasti, justru tidak kedua-duanya jadi pilihan, karena yang pasti, membangun bisnis dan membangun media (informasi)’’.
Dalam era bisnis informasi digital seperti sekarang, siapa yang lebih banyak menguasai informasi, justru menjadi yang pertama mendapat peluang dan siapa yang ingin maju cepat dan tepat, informasi menjadi produk terpenting. Karena itu informasi harus digali dan dikelola serius, minimal dengan membaca demi meningkatkan budaya masyarakat baca (reading society) ke masyarakat belajar (learning society). Artinya, secara lebih reflektif dapat tersemai; informasi sebagai pasar gelap yg terang benderang.
Ini penting agar kita tidak terjebak dalam satu bidang tugas kecerobohan, kesalahan dan ketidakcermatan. Sebab, dalam aksi-aksi kemanusiaannya, seorang manusia bisa saja bertindak sebagai homo faber (pembuat dan pemakai), homo sapiens (pemikir atau bijak) dan homo symbolicum (pengguna simbol). Semua mengarah ke sentralitas manusia sebagai pemilik pengetahuan dan penguasa teknologi informasi di dalam kegiatan kemanusiaan. Tentu, yang wajib diusung setiap insan jurnalis di era industri media terkini adalah, membangkitkan kesadaran untuk mengetahui dan mengemban visi tanpa harus mengusung misi vita contemplativa ke vita activa, —dari apakah sesuatu itu, ke bagaimanakah sesuatu bisa bekerja, dan menempatkan homo faber dan animal laborans sebagai sebuah strategi yang kuat.
Memilih menekuni profesi sebagai manusia pewarta dalam industri media, maka harus juga siap meningkatkan SDM guna mengimbangi bidikan keseriusan untuk membangun industri informasi dan teknologi yang agak unik; Mandiri, Gratis dan Banyak (radio dan oplah). Artinya, media yang dibangun Pak Oles tidak mesti ada untuk mendatangkan iklan agar bisa untung meski harus berjuang ekstra demi meningkatkan informasi dan pemasaran produk-produk (bisnis). Karena cerminan visi dan mis yang demikian tegas, bukan berarti menjual jam siar iklan dan space halaman KPO dan MONTORKU secara murah sembari menjadi wartawan yang asalan-asalan menulis berita.

Ket: Pak Oles dan Pemred Albert Kin Ose bertemu Pak Koko kepala operasional Percetakan Antar Surya Jaya untuk membahas hal-hal teknis percetakan.

Di tengah tumbuh suburnya aneka media serba gratis, tetap membias pada terciptanya gejolak (iklan) yang kompetitif. Itu belum diperparah menjamurnya internet melalui warnet, yang diproyeksikan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, sudah berada pada pertumbuhan 30% di tahun 2004 atau 16 juta orang pengguna jasa internet di akhir 2005 dan konon oleh banyak perusahaan dianggap sebagai potensi pasar media terbesar dibanding pasar media cetak. Kondisi ini, oleh Dan Okrent, mantan Pemred Life, dan kini Redka kelompok media Time Inc menyebut sebagai era jurnalisme digital yang dibangun di atas tumpukan kertas dan lumuran tinta.
Kami masih sangat yakin, kecepatan dan percepatan teknologi informasi akan terus melaju dan makin terjangkau, baik jumlah maupun harga. Untuk ‘’media lama’’ seperti surat kabar, majalah, bahkan brosur pun akan kian mahal, baik karena ongkos produksi maupun distribusi. Secara ekonomis, ‘’media lama’’ akan terlilit siklus yang sulit bersaing. Wajar, bila konsep marketing lama tanpa didukung strategi, visi, misi dan produk sendiri, kian menyuburkan mati hidupnya media di Indonesia. Potret ini bukan saja terjadi di Bali, Jakarta atau Surabaya, tetapi hampir di semua daerah di Indonesia, sekaligus menjadi penyokong ketepurukan prilaku dan mental sebagian wartawan Indonesia.
Bercermin pada realita pembangunan industri media terkini, maka setiap insan jurnalis plus harus tetap kokoh mengawal setiap jengkal informasi sesuai rubrik atau program siaran secara profesional dengan mengedepankan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar jurnalistik; bebas dan bertanggung jawab, tanpa menghilangkan prinsip kerja jurnalisme. Dengan begitu, secara tidak langsung berperan aktif membangun informasi dan menjual produk yang diproduksi perusahaan sehingga bara yang tak kunjung berabu itu, tidak cepat-cepat menjadi bara yang berdebu dan berceceran memori.

VII SIMT Obornya, Gratis Strateginya

Ket: Peluncuran Tabloid Otomotif MONTORKU berlangsung meriah dengan peragaan busana model otomotif di Jak Resto dan Grill, Tuban, Kuta, 5 September 2004.

Denpasar, 25 Mei 2003 di Pak Oles Centre (POC). Albert Kin Ose Moruk (Pemred KPO & Montorku) dan Pimpinan Media Group Pak Oles, Dr Ir GN Wididana, M.Agr terlibat dalam sebuah diskusi serius tentang dua hal. Pertama, seputar konsep (visi dan misi) membangun industri informasi (cetak maupun elektronik). Kedua, tentang seberapa besar pengaruh ilmu pengetahuan dan managemen terhadap eksistensi sebuah industri di era globalisasi. Diskusi sampai larut malam itu bertepi pada simpul-simpul yang tak lazim. Karena sangat terbuka, dari hati ke hati, berbagi dari secuil pengalaman praktis, jelas tanpa terbungkus dalam rahim-rahim kamuflase.
Pada simpul-simpul nyeleneh itu, terurai dua topik bahasan secara lugas dan tegas dengan kemandirian sikap, —swadaya dan swakelola. Konsep pertama bermuara pada SIMT (Sistem, Informasi, Managemen dan Teknologi). Praktisnya, membangun sebuah industri media di era kekinian, minimal didukung Semberani (Keseimbangan dan Keberanian), Visi, Tujuan, Kualitas (isi=wartawan), Kuantitas (oplah dan areal distribusi), Iklan, Untung dan Sejahtera.
Sedangkan konsep kedua bertepi pada terciptanya industri, lalu barang (produk dan atau jasa), informasi, pasar dan akhirnya ada uang. Jadi, SDM yang ber-Iptek harus menghasilkan uang, barang dan atau jasa. Agar ada uang, barang dan jasa, selain tetap berjalan di atas SIMT, juga informasi harus diketahui pembaca secara gratis, cepat dan tepat. Koran Pak Oles dengan tiras 220 ribu eksemplar, tebal 16 halaman (8 halaman berwarna) itu diedarkan secara ngacak dan gratis sejak awal tahun 2000, dan Tabloid Otomotif MONTORKU, 24 halaman full colour sejak 5 September 2004.
Di London, Inggris, sejak Minggu pertama September 2006, terbit dua koran gratis; London Lite diterbitkan Asosiasi Surat Kabar Inggris dan Thelondonpaper milik juragan Koran ternama dunia, Rupert Murdoch. Keduanya terbit sore dengan 48 halaman full colour, bertiras 400 ribu eksemplar dengan sasaran pembaca kaum muda (18-35 tahun), generasi yang dianggap tidak punya kebiasaan membaca Koran. Kedua Koran ini, seperti ditulis Majalah TEMPO (Edisi 25 September-1 Oktober 2006, Kolom Media, Hal 52), ingin meniru sukses Metro, koran pagi gratis terbitan Asosiasi Surat Kabar Inggris dengan segmen pembaca kaum muda. Metro bahkan sudah menjadi ikon harian gratis di Eropa dan Amerika. Hingga Juli 2006, Metro sudah terbit di 14 negara Eropa dengan tiras 5,4 juta eksemplar, dan 1,9 juta pembaca tersebar di Inggris.
Bagi Murdoch, pemilik The Sun, The Times dan Sunday Times, melalui kelompok News International sudah menerbitkan koran gratis MX di Melbourne, Australia, dan Direct Soir di Paris, Perancis.
Di Indonesia, memang sudah banyak tabloid yang beredar gratis. Di Bali, misalnya ada puluhan tabloid (bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa Jepang) yang pernah terbit selama tiga tahun terakhir, namun cepat hilang dari peredaraan. Pemicunya, sangat klasik karena didera biaya produksi. Potret buram yang terus membuntuti eksistensi hidup matinya sebuah media gratis, termasuk yang tidak gratis, karena kurang kokoh fondasi SIMT, tidak memiliki produk yang siap dipasarkan, visinya melirik kue iklan sesaat, ingin cepat-cepat meraih untung dan tidak memiliki inovasi produk informasi, —ada media cetak dan elektronik.
Di simpul ini, hendaknya para pemilik modal dan pengelola yang berencana membangun industri media cetak, membangun visi baru. Soal ada tidaknya kue iklan dan apalagi untung, itu urusan paling buntut. Sebab, kue iklan tetap menjadi milik media-media top leader, baik terbitan Jakarta maupun di daerah. Para pemilik kue iklan itupun sangat terbatas dan tidak terbatas, tergantung negosiasi dan program yang dipatok para pengelola media.
Melihat fenomena pembangunan industri media di Indonesia belakangan ini, sudah saatnya bangkit kesadaran baru bahwa industri jurnalistik di Indonesia sedang menembakan pena-pena wartawan dari pers yang ideologisasi ke pers industrialisasi, bila tidak ingin ketinggalan kereta sama brosur, majalah, tabloid dan koran baru berlisensi luar negeri, yang tanpa harus menyusun konsep analisis soal kepentingan komunitas, tanpa harus menerapkan standar kerja jurnalistik ketat dan terlatih. Sejumlah majalah bisa langsung terbit dan laku, disokong kuatnya jaringan distribusi dan penjualan.
Meski begitu, hampir semua media gratis tetap berkiblat pada empat hal. Pertama, Manajemen Informasi (perancangan strategi dan kebijakan informasi yang menghasilkan data akurat bagi keperluan internal) maupun eksternal (penyampaian informasi tentang produk kepada masyarakat luas). Kedua, Teknologi Informasi (perancangan bentuk jaringan peralatan dan sarana untuk menunjang pelaksanaan strategi dan kebijakan data efektif dan efisien). Ketiga, Manajemen Komunikasi (perancangan strategi dan kebijakan komunikasi yang berperan menjalin pola komunikasi untuk promosi dan distribusi pesan tentang sebuah produk. Keempat, Teknologi Komunikasi (rancangan bentuk komunikasi efektif dan efisien dalam menyampaikan berita demi meningkatkan citra produk).
Akhirnya, mari kita renungkan dua media ternama di Asia Pasifik yang harus goodbye pada November 2001 dan akhir tahun 2004. Pertama, Time Inc dengan Asiaweek (majalah mingguan berbahasa Inggris yang cukup berwibawa untuk kalangan bisnis dan politik di kawasan Asia) berakhir hidup pada 29 November 2001. Asiaweek harus menyatakan goodbye Asia Pasifik dengan posisi 120.000 pelanggan. Padahal majalah ini sudah terbit sejak 1975 sesaat setelah Indonesia invasi ke Timor-Timur. Ini terjadi karena persaingan bisnis dan mendung perekonomian Asia yang menyebabkan perolehan iklan merosot drastis dalam 10 tahun terakhir.
Pesaing dekatnya, Far Eastern Economic Review, milik kelompok usaha Dow Jones & Co, yang seolah mendapat runtuhan durian dengan meraup pangsa pasar yang ditinggalkan Asiaweek menyusul tutup di akhir tahun 2004, meski sudah membangun reputasi spesifik di kawasan Asia Pasifik dan telah beroperasi lebih dari setengah abad (terbit pertama kali tahun 1946).
Jadi, dalam waktu berdekatan, dua mingguan berita berbahasa Inggris terbesar dan terbaik di kawasan Asia dengan reputasi jurnalistik terpercaya tutup begitu saja. Saat ini Asiaweek hanya ada di internet, daring (online), sedangkan FEER jadi jurnal bulanan untuk pelanggan dan pembaca terbatas. Di Indonesia, memang agak sulit ditakar, karena sangat mudah terbit dan sangat mudah tutup usia.
Apa yang sebenarnya terjadi? Inikah tanda-tanda berakhirnya peran media berita cetak, seperti yang sudah mulai diributkan sejumlah pemerhati media sejak pertengahan 1990-an mengiringi kemunculan internet? Benarkah faktor perkembangan teknologi jadi penentu yang mematikan media cetak? Mengapa setelah syarat SIUPP dicabut, ancaman bredel hilang, majalah berita dan koran berita ikut hilang di Indonesia? Apakah demokrasi tak lagi membutuhkan pers yang menyelidik dan memeriksa berbagai soal, plus pers yang menjaga kelangsungan demokrasi? Yang pasti karena tidak punya produk sendiri untuk menghidupi dirinya, dan tanpa mengusung visi misi jelas, diperpuruk krisis bisnis dan krisis rancangan grafis informasi; menurunnya jumlah pembaca, berkurangnya iklan, beratnya persaingan media berteknologi baru atau yang melulu lebih cantik, penuh warna dan menghibur.
Pada tikungan ini, tersemai gugahan pemacu daya kreatif membangun industri media bahwa di balik temaram plus minus media; jurnalisme tabloid dan jurnalisme infotainment yang digarap lebih fokus, pasti mendapat bidikan pasar yang memikat, dengan topangan yang menyatu dalam Sistem, Informasi, Managemen dan Teknologi. Sadar atau tidak, dalam rahim-rahim jurnalisme, seakan sedang terjadi pergeseran idealisme di tingkat politik redaksi meski agak tipis dibedakan; berita menjadi hiburan dan hiburan menjadi berita, sembari menebar prinsip klise; desain adalah perkara solusi, sedang gaya, hanya soal penampilan. Padahal, tanggung jawab jurnalistik adalah soal wilayah berita dan wilayah isi, dan inilah selebritisasi dunia jurnalistik Indonesia terkini, dengan menyedot pembaca jauh lebih banyak ketimbang sebuah media harian. Dan itulah salah satu ciri suksesnya gempuran konglomerisasi media bercorak infotainment dan tabloidisme.

VIII Bravo Koran Pak Oles


Koran Pak Oles lahir dari sebuah kreativitas seni mengelola media secara independen. Artinya, media tersebut dikelola secara mandiri dan gratis. Tentu saja hal ini merupakan jurus menejemen media yang benar-benar baru, yaitu dari kita untuk kita dan oleh kita. Yang dimaksud dengan kita di sini adalah keluarga besar olesmania, konsumen dan penggemar setia ramuan Pak Oles.

Koran Pak Oles pertama kali hadir dalam bentuk kecil dan sederhana, yang pada awalnya adalah hasil dari riset pasar coba-coba. Pemikiran praksis membangun media ini diterapkan untuk menjawab tantangan perusahaan induknya PT Karya Pak Oles Tokcer, yaitu bagaimana caranya untuk mengedukasi pasar sehingga pencitraan dan pemasaran Ramuan Pak Oles bisa meningkat dan dipertahankan.

Dari segi nama, Koran Pak Oles memiliki nama yang unik, mungkin terunik di dunia, karena mengusung nama produk, nama orang dan nama perusahaan yang membidangi. Dari segi nama perusahaanpun belum ada nama perusahaan yang bernama dengan kata: Pak, Oles dan Tokcer. Pada awalnya nama Koran Pak Oles memang aneh didengar bukan saja oleh masyarakat pembacanya, tapi juga oleh wartawan Koran Pak Oles dan seluruh karyawan Pak Oles. Dengan kesabaran dan ketekunan, Pak Oles menjelaskan visinya membangun media ‘’nyentrik’’ ini, akhirnya nama koran Pak Oles diterima di hati masyarakat.

Dalam tiga tahun pertama, banyak wartawan yang menangis gara-gara dilecehkan nama korannya oleh narasumber dan rekan-rekan wartawan media lain. Bahkan ada narasumber dari universitas, lembaga penelitian dan eksekutif perusahaan menutup rapat pintunya agar tidak ditemui oleh wartawan Koran Pak Oles, karena takut namanya jeblok gara-gara menjadi narasumber di koran picisan. Tentu saja, hal ini menjadikan banyak wartawan Koran Pak Oles menjadi stres, frustasi, patah semangat dan muntaber (mundur tanpa berita). Bahkan ada beberapa pengamat media dari eksekutif perusahaan dan profesor perguruan tinggi mengatakan, perusahaan Pak Oles bisa gulung tikar karena melakukan bisnis media yang visinya tidak jelas. Ada juga yang mengusulkan untuk mengubah nama Koran Pak Oles menjadi nama lain selain nama Pak Oles yang memiliki nilai jual dan logika yang lebih baik. Tentu saja hal itu hanya ditanggapi dingin oleh Pak Oles, sambil mengumpat dalam hati: “Sialan lu....!

Untuk membalas komentar miring dari pengamat-pengamat media yang tidak berpengalaman dalam mengelola media, atau ledekan-ledekan kecil dari wartawan-wartawan lain yang menciutkan nyali wartawan Koran Pak Oles, atau untuk membuka pintu wellcome dari nara sumber, Pak Oles membuat jurus baru dengan meningkatkan oplah korannya menjadi 220 ribu eksemplar dan mencantumkan motto koran menjadi “Jangan Anggap Enteng, terbit 220 ribu eksemplar dan tersebar ngacak di seluruh Indonesia.” Tentu saja hal ini membuat pengelola media lain membelalakkan mata dan mengunci mulut para pengamat media dan wartawan -wartawan lain menjadi tidak berkomentar lagi.

Koran Pak Oles ibarat magma di dalam perut gunung berapi, yang terlihat hanya berupa semburan uap-uap panas di atas puncak gunung, karena sebaran dan daya penetrasi informasi ke pembaca yang sangat luas dan dalam, tapi panasnya sudah dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di bawah gunung berupa mata air-mata air yang panas dan tersebar ngacak. Air panas yang keluar melalui lapisan magma berupa informasi yang dapat menyehatkan masyarakat pembacanya. Media lain dan pengamat mungkin boleh saja menyangkal keberadaan Koran Pak Oles karena mereka melihatnya dari atas bukan dari bawah. Sama halnya dengan mereka yang menyangkal keberadaan aktivitas magma di dalam perut gunung berapi, sebaliknya masyarakat telah menikmati pancaran air panas dari ribuan mata air yang mengalir di bawah gunung.

Pertanyaan yang susah dijawab dengan benar pada tahun-tahun pertama beredarnya Koran Pak Oles adalah apakah Koran Pak Oles diterima oleh pembaca di masyarakat luas. Jawabannya bisa ya atau tidak. Koran Pak Oles diterima karena memang sampai pada tangan pembaca, dan juga bisa tidak diterima karena walaupun sampai di tangan pembaca tetapi tidak dibaca bahkan mungkin dibuang percuma. Untuk rekan-rekan wartawan yang kurang militan atau nyalinya kecil pastilah ngeri jika mendapatkan jawaban yang negatif, karena kerja kerasnya merasa tidak dihargai, atau merasa dirinya kurang berharga. Tapi sekali lagi dengan tegas Pak Oles menjawab pikiran negatif yang ditakuti oleh rekan wartawan. Sekali lagi Pak Oles menegaskan bahwa, “Koran Pak Oles memiliki pembaca setia di masyarakat, yaitu masyarakat pemakai setia Ramuan Pak Oles yang tersebar di seluruh Indonesia. “ Rupanya jawaban abstrak yang diberikan oleh Pak Oles tujuh tahun yang lalu menjadi kenyataan, bahwa dengan semakin berkembangnya pemasaran Ramuan Pak Oles di berbagai propinsi di Indonesia selalu diikuti dengan semakin meningkatnya oplah Koran Pak Oles.

Sampai tahun 2007, penyebaran pembaca Koran Pak Oles mencakup wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, Bandung, Sumedang, Cimahi, Tasik, Jogjakarta, Magelang, Muntilan, Salatiga, Surabaya, Malang, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Pasuruan, Kediri, Mojokerto, Pamekasan, Genteng, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Jombang, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo, Bali, Mataram, Sumbawa, Bima, Makassar, Lampung dan Bontang.

Dengan sistim distribusi yang kuat, karena didukung oleh tim pemasaran Ramuan Pak Oles yang jumlahnya mencapai 2.000 orang, maka bukanlah hal yang sulit untuk menyebarkan Koran Pak Oles dalam jumlah 220.000 eksemplar selama limabelas hari, yaitu masing masing orang cukup hanya menyebarkan koran sejumlah 7,3 eksemplar per hari. Masalahnya adalah bukan pada bagaimana cara menyebarkan korannya, tetapi bagaimana membentuk tim pemasaran yang kuat dalam jumlah 2.000 orang itu. Tim pemasaran yang kuat dibentuk melalui proses rekruting, pelatihan dan motivasi yang terus menerus. Dengan demikian secara bertahap akan terbentuk agen-agen pemasaran yang kuat. Tentu saja hal ini harus didukung oleh produk yang kuat, yaitu produk yang bermanfaat, mudah didapat dengan harga yang terjangkau.

Dengan semakin meningkatnya usia Koran Pak Oles, dia menjadi semakin profesional dalam mengelola informasi dan sumber dayanya. Informasi yang dikelola tetap fokus pada berita-berita yang dalam dan analisa yang sifatnya tidak basi. Penulis-penulis opini yang berkualitas datang menyumbangkan tulisannya melalui fasilitas internet. Setiap dua minggu masuk lebih dari 50 judul tulisan berkualitas dengan berbagai tema, sedangkan daya muat rubrik opini Koran Pak Oles hanya mencapai 8 buah tulisan setiap kali terbit. Tentu saja persaingan tulisan opini menjadi semakin tajam untuk bisa muncul di Koran Pak Oles. Hal ini justru meningkatkan kualitas penulis dan kualitas Koran Pak Oles di mata masyarakat pembaca. Sumber daya manusia yang merupakan think-tank Koran Pak Oles juga secara terus menerus ditingkatkan melalui proses perekrutan, pelatihan, motivasi dan memperbaiki diri secara kontinyu melalui proses belajar.

Perjalanan panjang dalam mengelola informasi melalui Koran Pak Oles baru dirintis. Hutan belantara yang harus dirabas untuk mengantarkan Ramuan Pak Oles ke dalam rimba pemasaran masih sangat lebat. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tapi setidak-tidaknya Koran Pak Oles merupakan obor penerang, kompas, alat perabas, jimat dan senjata pamungkas tim pemasaran Ramuan Pak Oles untuk mengantarkan produknya dengan selamat di tangan konsumen. Koran Pak Oles juga merupakan selembar surat dan salam dari Pak Oles kepada olesmania yang tersebar di seluruh Indonesia. Sekali lagi, perjalanan masih sangat panjang. Sekali layar terkembang, pantang langkah surut. Jangan tanggung, jangan kepalang. Bravo Koran Pak Oles......!

Keterangan foto: KPO diedarkan SPG Ramuan Pak Oles setiap hari di 7 propinsi dan menjadi bacaan alternatif soal pertanian organik, kesehatan herbal dan pengembangan industri otomotif yang ramah lingkungan.


IX Informasi Itu Menciptakan Pasar



Zaman informasi dan teknologi yang dijalani sekarang sangat cepat dan bertenaga. Barang siapa yang menguasai informasi dan teknologi, maka ia akan bisa mengubah dunia.Dengan kian berkembangnya kebutuhan manusia, dikembangkanlah kata komunikasi untuk menyambung hubungan antara informasi dan teknologi.Komunikasi yang dimaksud; gabungan penerapan menejemen dalam arti luas di dalam organisasi dan sistim sebagai perangkat keras dan perangkat lunak yang mengatur menejemen. Untuk menjelaskan ini, mungkin rumit bagi sebagian masyarakat, tapi Pak Oles dengan mudah menjelaskan dengan teori SIMT.SIMT adalah akronim dari Sistim, Informasi, Menejemen dan Teknologi, yang merupakan perangkat material perputaran ekonomi (pasar) untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan manusia akan barang, jasa dan uang. Sedangkan perangkat spiritualnya, penerapan ajaran agama dan nilai-nilai spiritual positif yang membangun semangat berwirausaha. Sistim adalah aturan, peraturan, perangkat, tata laksana, metode dan hal lain yang mengatur hubungan antar manusia, uang, barang dan jasa dalam perusahaan.Sistim merupakan modal maya. Informasi adalah berita yang berkualitas, bisa dipertanggungjawabkan, dan dibutuhkan masyarakat yang dapat menentukan sikap konsumen untuk membeli atau tidak. Menejemen adalah ilmu dan seni mengelola orang, uang, jasa dan barang dimiliki perusahaan sehingga dapat memberikan manfaat dan keuntungan secara kontinyu. Teknologi adalah ilmu yang dipraktekkan sehingga menghasilkan suatu produk.Mengapa pasar tercipta? Pasar tercipta karena produknya dibutuhkan konsumen. Produk yang dibutuhkan bisa terjadi karena informasi. Pembelian kembali oleh konsumen terjadi karena informasi yang dibangun sesuai kebutuhan konsumen. Munculnya produk kompetitor dapat menaikkan atau menurunkan penjualan karena informasi dan konsumen memiliki berbagai pilihan. Secara singkat, Pak Oles menegaskan bahwa informasi menciptakan pasar. Informasi mampu menggerakkan orang untuk melakukan transaksi jual beli. Karena itu, informasi harus dikelola dengan baik agar pasar tercipta dan dapat dikembangkan semakin luas.Perusahaan yang berkembang dengan baik adalah perusahaan yang memiliki kemampuan mengelola informasi demi tetap terciptanya kedekatan emosional dengan konsumen. Di sanalah, diperlukan media yang bisa menampung dan menyalurkan informasi ke berbagai arah dari perusahaan, konsumen, pemasok dan masyarakat luas ke setiap bidang yang membutuhkan.Tidak semua perusahaan memiliki kemampuan mengelola informasi, karena banyak perusahaan menyerahkan pengelolaan informasi ke bagian periklanan dan bagian humas media lain atau event organizer. Menyerahkan pengelolaan informasi kepada pihak lain memiliki keuntungan dan kerugian.
Keuntungan; lebih praktis, anggaran bisa disesuaikan. Kerugian; informasinya belum tentu menciptakan pasar karena tidak tepat media, tidak tepat informasi dan tidak tepat sasaran. Untuk mengelola informasi dengan media sendiri, perusahaan harus memiliki divisi dan SDM humas, harus memiliki anggaran informasi yang jelas dan siap membangun system distribusi media secara tepat sasaran.
Untuk memenuhi syarat tersebut banyak perusahaan yang nyalinya ciut, karena ketiga syarat tersebut jelas membutuhkan uang, akal dan nyali lebih. Karena sekali media terbit, harus terus terbit sampai mati. Mengelola media ibarat berenang di laut dalam. Kaki dan tangan harus bergerak terus mengayuh air sampai tujuan, atau berhenti di tengah jalan, dan mati tenggelam.
Rupanya syarat kejam yang harus dilalui dalam mengelola media tidak menciutkan nyali Pak Oles untuk mewujudkan ide membangun media. Koran Pak Oles dibangun untuk memberitakan informasi indepth and evergreen,—berita yang ditulis mendalam dan tidak mudah basi, yang bisa dibaca kapan saja karena dikaji berdasarkan pendalaman materi. Tentu, berita yang disaji membutuhkan kajian dan wawasan luas dari para wartawan. Dalam setiap kesempatan, Pak Oles selalu menekankan pentingnya membaca dan melestarikan budaya membaca bagi wartawan.
Terbitnya Tabloid Otomotif MONTORKU sejak 6 September 2004, mengudaranya Radio Pak Oles FM sejak 2004 dan Radio Hexon FM sejak 2005 membuktikan keseriusan Pak Oles membangun media. Pak Oles sekali lagi menegaskan, hanya orang serius dan memiliki visi yang kuat bisa mengelola media secara konsisten.
Pasar yang tercipta karena ada kebutuhan masyarakat. Suatu ilmu yang bermanfaat akan bisa dinikmati masyarakat. Dengan teknologi, ilmu bisa diubah jadi produk yang siap digunakan masyarakat. Gabungan antara teknologi dengan menejemen terciptalah industri, —suatu usaha untuk membuat produk dalam jumlah besar demi memenuhi kebutuhan pasar. Industri tidak akan mungkin produksi massal jika tidak tercipta pasar. Salah satu fungsi informasi adalah untuk menciptakan pasar. Suatu industri harus ditunjang informasi yang kuat, terarah dan kontinyu. Jika tidak, industri tersebut hidupnya bisa megap-megap.
Kebanyakan pengusaha industri melihat informasi sebagai cost center (pusat biaya), dan bukan sebagai pusat investasi. Seorang petani hendaknya melihat biaya pemupukan dan perawatan tanaman sebagai investasi, bukan sebagai pusat biaya untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Demikian juga informasi dalam dunia industri harus tetap dilihat sebagai pusat investasi agar tujuan industri untuk memenuhi kebutuhan pasar bisa tercapai. Karena informasi merupakan faktor mutlak dalam mengembangkan industri, maka divisi informasi Pak Oles Center didirikan.
Masyarakat perlu diberdayakan pengetahuan dan pemahaman tentang jamu, madu dan obat tradisional. Pengetahuan merupakan interaksi ilmu antara teori, praktek dan kenyataan di lapangan. Masyarakat mencerna informasi sesuai pemahaman dan selanjutnya memutuskan sendiri sesuai kebutuhan untuk menggunakan atau menolak suatu produk yang dipasarkan.
Interaksi informasi terus terjadi di antara masyarakat peneliti, praktisi, pemasok, produsen dan konsumen, sehingga pengetahuan masyarakat tentang suatu produk lebih memadai. Meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya obat tradisional untuk menjaga kesehatan akan meningkatkan pertumbuhan industri obat tradisional secara keseluruhan. Persaingan industri obat tradisional akan semakin ketat. Penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 220 juta jiwa merupakan target pasar produsen obat tradisional dari berbagai Negara, dan mau tidak mau masyarakat Indonesia harus siap memasuki terbukanya pintu perdagangan bebas AFTA tahun 2010.
Kekuatan produsen obat tradisional dari manca negara yang digiring dengan informasi profesional siap membutakan mata dan pikiran konsumen bangsa kita, yang akhirnya bisa meruntuhkan industri obat tradisional di dalam negeri. Lalu, kita berlabuh dalam dua pertanyaan yang harus bisa ditentukan jawaban. Akankah kita menjadi orang asing di negara sendiri karena ketidak-mampuan untuk menghargai produk sendiri? Atau, tidakkah kita bisa menjadi tuan di negara sendiri dan menjadi tamu terhormat di negara orang lain? Bagi Pak Oles, alternatif kedua yang menjadi pilihan yang pasti, jelas dan tegas. “Kita harus bisa menjadi tuan obat tradisional di negara kita sendiri dan menjadi tamu terhormat karena obat tradisional di negara orang lain”.

Keterangan foto: Pak Oles Center (POC) terus menerbitkan buku yang telah menjadi agenda tahunan. Peluncuran buku yang diedit Albert Kin Ose kian meramaikan dunia buku Indonesia.

X Mengelola Informasi Radio

Dari PRO2 FM Sampai Pak Oles FM, Pasti Tokcer

Dalam sebuah rapat cashflow di kantor Pak Oles Juni 2000, direktur pemasaran dan direktur keuangan berdebat sengit tentang bagaimana meningkatkan omset pemasaran dan keuntungan dengan menekan biaya pemasaran, meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemasaran. Debat terjadi karena pasar cenderung menurun tetapi biaya pemasaran melalui iklan terus meningkat. Meningkatnya biaya iklan diketahui setelah setahun terakhir Pak Oles memasang iklan di 10 stasiun radio di seluruh kota di Bali yang tidak direspon pasar secara cepat. Tentu, ini membuat manajer keuangan uring-uringan karena biaya yang harus dikeluarkan mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Di lain pihak meneger pemasaran juga ngos-ngosan memacu kru pemasar untuk mengejar target yang ternyata tidak tercapai.

Ada apa gerangan? Setelah dua bulan dilacak penyebabnya, ditemukan bahwa iklan yang ditayangkan dan promosi yang dilakukan oleh penyiar tidak tepat sasaran alias melenceng. Ini terjadi karena informasi produk Ramuan Pak Oles tidak menyatu dengan penyiar, materi dan konsep siaran. Penyiarnya yang terus ngoceh memberikan informasi tentang manfaat Ramuan Pak Oles dan menganjurkan pendengarnya memakai, tetapi dia sendiri belum pernah memakai. Materi siar tidak menyatu dengan produk yang diiklankan, informasi terputus-putus sampai ke pendengar, jadwal tayang terbatas dan iklan yang ditayangkan tidak nyambung dengan telinga pendengar yang kebanyakan cuek.

Konsep siaran yang diterapkan radio belum bisa memetakan segmentasi pendengar secara tegas dan jelas, sehingga mengalirnya informasi di udara tidak ditangkap pendengar. Fakta ini jelas merugikan pengiklan karena biaya iklan yang dikucurkan tidak direspon pasar. Di lain pihak, sang pemasar iklan radio terus menebar jaring untuk mencari pemasang iklan, dengan harga yang tinggi dan diskon menggiurkan, dengan informasi produk yang dikemas apik dan menarik berupa brosur dan identitas perusahaan.

Padahal memasang iklan di radio, jika materi promosi, penyiar dan konsep siaran yang tidak tepat sasaran, tidak akan menciptakan pasar. Itulah yang belum dipahami pemasang iklan. Pemasar iklan radio diibaratkan pawang hujan, yang mengaku bisa menurunkan hujan setiap saat, jika musimnya tidak tepat, dan lakunya tidak kuat, yang didapat pasti hujan tidak akan turun, meski bayaran mahal dan mantranya sakti mandra guna sampai memekakkan telinga.

Pada rapat menejemen Agustus 2000, Pak Oles memaparkan strategi informasi yang diterapkan untuk dongkrak pasar dan citra Ramuan Pak Oles di Bali, khususnya. Tentu, strategi pemasaran yang diusulkan membuat kaget manajer pemasaran dan manajer keuangan, karena Pak Oles ingin mendirikan stasiun radio.

Biayanya dari mana? Dengan enteng Pak Oles menjawab pertanyaan ragu dari peserta rapat. “Seluruh biaya iklan radio yang telah kita keluarkan dialihkan untuk mengontrak stasiun radio,” tegas Pak Oles. Selanjutnya Pak Oles memaparkan segala hitungan matematis, ekonomis, keuntungan dan kerugian jika keputusan mengontrak stasiun radio dilakukan. “Dengan biaya kontrak sebuah radio 20 juta rupiah per bulan, biaya produksi dan karyawan radio 15 juta rupiah per bulan, total pengeluaran 420 juta rupiah per tahun, kita sudah menghemat biaya iklan 580 juta rupiah. Jika dibanding biaya iklan radio di stasiun lain sebesar 100 juta rupiah per bulan atau 1,2 milyar per tahun,” papar Pak Oles.

Selanjutnya Pak Oles mengajukan tender kontrak stasiun radio ke RRI Denpasar. Hasilnya Pak Oles memenangkan tender karena berani mengajukan penawaran tertinggi. Sejak Februari 2001, Pak Oles mulai mengelola manajemen Pro2 FM dengan stasiun call Pro2 FM Pasti Tokcer dan menyapa pendengarnya dengan Oles Mania. Lagu-lagu dan format siaran diubah lebih merakyat dengan segmen pasar yang lebih meluas, dari anak muda sampai orang tua.

Dalam waktu enam bulan, radio Pro2 FM Pasti Tokcer jadi terkenal di Kota Denpasar, karena lagu menarik, penyiar menyatu antara pendengar dan format acara. Pada tahun kedua, radio Pro2 FM Pasti Tokcer mulai kebanjiran iklan sehingga biaya kontrak yang harus dikeluarkan perusahaan dapat disubsidi dengan biaya iklan dari luar. Yang menggembirakan, bukan karena mendapat iklan dari luar, tapi penjualan Ramuan Pak Oles di Bali meningkat pesat.

Setelah berakhir masa kontrak dua tahun pertama, Pak Oles mendapatkan surat beramplop coklat dari RRI Denpasar. Setelah dibaca isinya, ternyata kontrak radio Pro2 FM tidak bisa diperpanjang karena alasan peraturan dari Jakarta yang tidak mengizinkan stasiun radio RRI disewakan kepada pihak luar. Saat itu, Pak Oles diberi waktu lagi 6 bulan untuk siap-siap mengakhiri masa kontrak.

Dengan gigih dan semangat, seluruh karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer fokuskan energi dan pikiran untuk membuat stasiun radio baru. Setelah melewati tahapan konsultasi dan mengurus ijin, serta jungkir balik membangun gedung dan tower baru, dalam waktu enam bulan, tepatnya Agustus 2004 stasiun radio bisa berdiri di Desa Pandak Bandung, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali. Dengan energi yang lebih kuat, radio baru yang merupakan metamorfosa dari Pro2 FM Pasti Tokcer diberi nama Pak Oles FM Pasti Tokcer.

Nama ini terasa lebih menggigit, lebih gesit dan lebih percaya diri daripada sebelumnya. Alasan yang paling masuk akal dan paling mudah diterima, karena radionya sudah menjadi milik sendiri, tidak ngontrak lagi. Alasan lain, karena segmentasi pendengar Pak Oles FM lebih jelas dan tegas. Hanya dalam waktu enam bulan, Radio Pak Oles FM sudah bisa memasuki peringkat 5 besar radio di Denpasar.

Pencitraan Radio Pak Oles FM juga didukung adanya radio mobil yang selalu wara-wiri di keramaian Kota Denpasar, Gianyar dan Tabanan dan siap siaran jarak jauh di berbagai tempat sesuai order. Untuk mendukung program radio mobil, dibentuk tim Off-Air dan tim EO (Event Organizer), yang siap membuat acara peliputan, pertunjukan seni dan hiburan lain di luar stasiun radio.

Ada dua kata yang merupakan mantra sakti penjualan Ramuan Pak Oles, yaitu kata Pak Oles dan Pasti Tokcer. Mantra itu begitu bertuah untuk mengangkat citra dan penjualan Ramuan Pak Oles. Nama Pak Oles yang mudah diingat dan membikin orang penasaran, karena namanya aneh dan nyleneh. Juga nama Pasti Tokcer bisa membikin orang tersenyum dan ingin mencoba. “Apanya yang tokcer? Buktikan saja sendiri,” canda Pak Oles.

Kedua nama ini selalu dikumandangkan berulang kali via stasiun radio, selama 18 jam per hari, bertahun-tahun. Kedua nama ini jadi lebih merakyat, lucu, menghibur dan serius. Memang awalnya kata Pak Oles dan Pasti Tokcer aneh dan kurang pas didengar, tapi seiring berjalannya waktu, kedua kata itu jadi mantra sakti mandra guna, sehingga produk Ramuan Pak Oles menjadi dekat dan menyatu dengan masyarakat luas.

Merek merupakan modal maya yang diistilahkan dengan intangible asset, —modal yang tidak terlihat tetapi memiliki kekuatan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Dengan kekuatan merek, suatu produk bisa dipercaya, dekat dengan konsumen, memiliki nilai jual dan laku di pasaran. Merek Ramuan Pak Oles dan Pasti Tokcer merupakan modal maya yang kuat, yang bisa memberikan kepercayaan dan garansi kepada konsumen, bahwa produknya berkualitas dan telah digunakan masyarakat luas.

Membuat merek yang kuat tidak semudah membalik telapak tangan. Itu sangat dibutuhkan sentuhan khusus, kerja keras, kerja tulus, pikiran sehat dan serius, fokus dan terus-menerus. Mengumandangnya mantra sakti mandra guna Ramuan Pak Oles dan Pasti Tokcer di stasiun radio Pro2 FM Pasti Tokcer dan Pak Oles FM Pasti Tokcer kian perkuat posisi dan strategi pemasaran Ramuan Pak Oles di Bali.

XI Radio HEXON, Membangun Informasi Dari Desa




Tower besi galvanis setinggi 50 meter ditancapkan di halaman kebun Pusdiklat Teknologi EM di Desa Bengkel. Tangan-tangan kokoh dengan kulit legam menggali lubang menanam besi beton yang berfungsi sebagai pengikat kawat baja. Kawat itu menarik kencang antena besi ke empat penjuru mata angin pada setiap ketinggian lima meter. Di tempat lain terlihat para tukang, sibuk bekerja membuat sekat-sekat di dalam gedung pabrik. Ahli teknik sipil dan arsitek sedang diskusi sambil corat-coret rancangan dan perhitungan di atas kertas. Dalam tempo 90 hari sebuah stasiun radio berdiri megah di pelataran pabrik Ramuan Pak Oles di Desa Bengkel. Rasanya mimpi, tapi itulah yang terjadi. Masyarakat Desa Bengkel riang gembira menyambut lahirnya radio baru di desanya, sebuah radio kemudian lebih diakrabi Radio Hexon. Arus komunikasi dan informasi melalui radio dari Desa Bengkel terbuka lebar. Perputaran ekonomi rakyat menggeliat karena informasi yang aktif antar masyarakat desa. Kehidupan seni rakyat tumbuh. Lomba kidung, lagu, tari dan musik tradisional melalui radio bangkit semarak. Informasi melalui hiburan, pendidikan, wejangan dan saling kirim salam lewat radio mengikat tali persaudaraan masyarakat desa. Masyarakat bekerja dengan riang gembira sambil mendengarkan radio. Mereka bisa saling mengirim salam melalui SMS atau menelun langsung. Jika ada waktu senggang mereka juga bisa berkunjung ke wantilan (pendopo) radio sambil memesan minuman dan makanan ringan yang disediakan di koperasi karyawan.
Pada awalnya memang susah menangkap jalan pikirannya Pak Oles untuk membangun stasiun radio di sebuah desa terpencil di Bali. Bagaimana mungkin stasiun radio bisa hidup di desa yang tidak memiliki pangsa pasar iklan. Mungkin hanya investor gendeng yang mau menanamkan uangnya di media radio yang lokasinya di desa.
Visi besar Membangun Desa Membangun Bangsa diwujudkan dalam misi membangun media informasi radio dari desa untuk masyarakat luas. Tanpa visi itu tidak mungkin misi dilaksanakan. Karena visi itulah, semangat kerja dan kreativitas tumbuh tanpa batas. Hitung-hitungan angka untung rugi di atas kertas ditinggalkan sementara. Tindakan nyata dilakukan secara perlahan namun pasti, dengan bahu membahu penuh percaya diri. Hasilnya, salam waktu 9 tahun, Desa Bengkel yang kehidupannya terpencil dan dianggap nomor bontot dalam pembangunan di 9 kecamatan se-Buleleng melesat ke ranking teratas. Dream come true! Mimpi menjadi kenyataan; wujud dari kerja keras tiada henti. Visi Membangun Desa Membangun Bangsa diwujudkan dalam sebuah prototipe miniatur di Desa Bengkel. Di desa itu sudah berdiri industri pupuk organik EM terbesar di Asia Tenggara, industri obat tradisional Ramuan Pak Oles yang menempati ranking lima besar di Indonesia, kebun pertanian organik, budidaya tanaman obat, Pusdiklat Teknologi EM dan Radio Hexon. Dari Desa Bengkel model percontohan Membangun Desa Membangun Bangsa dilihat nyata, tidak sebatas teori.
Radio Hexon dilahirkan untuk mengusung sebuah nama besar produk Hexon, —produk vitamin oli mesin produksi PT Pak Oles dan Biotor Teknologi. Produk hexon yang informasinya dikelola dari Desa Bengkel bersama fans Radio Hexon, secara perlahan namun pasti, produk mendapatkan tempat di hati masyarakat. Produk ini selalu diingat karena sering diucap dan didengar. Awalnya nama Radio Hexon kurang sreg didengar telinga orang desa karena terlalu metropolis. Setelah nama produk radio dan produk otomotif berupa vitamin oli digabungkan, secara perlahan nama Radio Hexon menjadi pas di telinga dan mengena di hati masyarakat. Dua nama produk yang tidak berhubungan dikawinkan menjadi ikatan yang saling menunjang aktivitas promosi; Karena Hexon, masyarakat mengenal Radio Hexon. Karena mendengar Radio Hexon, masyarakat mengenal Hexon.
Pada 11 Desember 2007, Radio Hexon genap berumur satu tahun. Hampir setiap bulan di lapangan Radio Hexon diadakan berbagai acara seni dan hiburan yang melibatkan penonton lebih dari 1000 fans. Acara bisa berlangsung karena lokasi mendukung dan antusiasme masyarakat yang sangat positif, di samping karena masyarakat Desa Bengkel yang selalu haus akan hiburan. Atraksi seni dan hiburan sangat penting dilihat dan dinikmati masyarakat untuk sekedar membuang kejenuhan sehabis bekerja keras sebagai petani. Saking tingginya minat masyarakat untuk melihat berbagai pertunjukan sampai ada anekdot yang mengatakan, jangankan artis dangdut atau penari joged diatraksikan, jangkrik berkelahipun banyak yang menonton. Artinya, pertunjukan apapun diadakan di Desa Bengkel pasti ramai penontonnya. Ini memberikan suatu nilai tambah bagi Radio Hexon untuk selalu dekat dengan masyarakat melalui pembinaan dan pementasan seni pertunjukan.
Acara kidung dan pesantian (lagu, petuah dan filsafat hindu) yang diadakan dengan mengundang sekehe (kelompok) seni kidung dari setiap desa di 5 kecamatan secara bergilir dua kali seminggu. Selama enam bulan sekehe seni kidung berkembang lebih banyak dengan kualitas yang meningkat. Masyarakat desa mendapat hiburan dan wejangan filsafat, agama dan susila, yang secara langsung merupakan sarana pendidikan yang tidak menggurui bagi masyarakat untuk selalu menegakkan iman dan takwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wejangan-wejangan itu disimak karena indah didengar, dengan irama yang menggetarkan hati. Secara perlahan namun pasti, tindakan susila berdasarkan norma agama, adat dan budaya menjadi teladan.
Pertunjukan tari joged, yang diiringi musik terbuat dari bamboo atau pentas tari genjek, tarian tradisional dengan goyangan seksi yang diiringi nyanyian dari mulut sekehe seni atau pertunjukan wayang kulit, yang secara langsung mengajak penonton berintrospeksi diri, atau pertunjukan lagu pop Bali dari artis Bali, bertepi pada tujuan menghibur masyarakat agar kita semua bisa hidup saling tersenyum dan bergembira, tetap sehat dan awet muda. Bukankah hati yang gembira adalah obat yang paling mujarab. Masyarakat desa menikmati hidupnya yang bersahaja dalam hiburan yang segar, saling toleransi, rukun dan damai.
Radio Hexon ibarat gadis cantik lulusan kota yang tinggal di desa. Berbekal teknologi dan informasi modern, Radio Hexon menciptakan suatu situasi dan kondisi baru dalam hal kegembiraan, kerukunan, kreativitas dan keberanian masyarakat desa untuk menyambut kehidupan yang lebih baik.
Sebagai gadis cantik yang ramah, tentu dia banyak yang melirik. Berkumpulnya ribuan fans berat Radio Hexon pada setiap acara yang diadakan di lapangan, berjubelnya iklan produk usaha kecil, menengah dan koperasi tingkat desa, serta ramainya kicauan salam dari fans lewat udara. Semua pertanda bahwa Radio Hexon mendapat di hati masyarakat. Tidak salah jika Pak Oles memberikan slogan Monyer ngisengin (gadis cantik genit dan selalu merindukan hati). Slogan dalam bahasa Bali ini tertulis dalam stiker Radio Hexon, dan selalu membuat orang tersenyum dan manggut-manggut.

Keterangan foto:
Foto atas: Ayu Saraswati, artis Bali yang kini menjadi penyiar Radio Dunia Bokashi Raya Klungkung. Sementara Radio Hexon mengudara di Desa Bengkel, Singaraja dan Radio Pak Oles FM di Pandak Kediri, Tabanan.
Foto tengah: Peluncuran produk otomotif Hexon (vitamin oli mesin) tahun 2005, yang diproduksi PT Pak Oles & Biotor Technology, di halaman TVRI Bali, Renon, Denpasar.

Foto bawah: Kegiatan rapat evaluasi tahunan wartawan POC untuk mengevaluasi program kerja dan merumuskan agenda kerja baru di tahun mendatang. Suasana rapat di aula IPSA, Desa Bengkel, Buleleng, 12 Desember 2007.

Total Tayangan Halaman