Penulis

Buku Putih Koran Pak Oles ditulis oleh Beny Ule Ander, jurnalis Koran Pak Oles. Sebuah "saripati" eksistensi koran sebagai media informasi yang mengedukasi pasar, konsumen dan branding perusahaan.
Kontak penulis di email aktif: benyuleander@gmail.com

KAWASAN TEMPUR

KAWASAN TEMPUR

Senin, 07 Januari 2008

VI Bara Yang Tak Kunjung Padam

Ket: Karyawan Pak Oles Center menurunkan Koran Pak Oles dari truck ekspedisi yang datang dari percetakan PT Antar Surya Jaya Surabaya (Kompas Gramedia Group).

Adalah asumsi-asumsi yang cukup mengemuka dan terus mengiringi tujuh tahun ada dan hadirnya Koran Pak Oles (KPO) secara gratis di beranda-beranda pembaca, teristimewa konsumen Ramuan Pak Oles. Pertama, asumsi penuh keprihatinan; ‘’Media ini akan mematikan semua perusahaan atau unit-unit bisnis yang sudah dirintis Pak Oles’’. Kedua, asumsi penuh kepastian; ‘’ Pak Oles pasti menyiapkan dana sekitar Rp 20 millyar sehingga KPO lalu tabloid otomotif MONTORKU bisa digratiskan kepada pembaca’’. Ketiga, asumsi penuh tanya, ‘’Dari mana uang untuk mencetak KPO dengan jumlah tiras di atas 100.000 bahkan bertengger di 220.000 eksemplar per edisi’’. Keempat, asumsi penuh keraguan, ‘’Adakah bantuan dana dari lembaga asing untuk menghidupi dua media cetak dan dua media elektronik, —Radio Pak Oles FM dan Radio HEXON FM’’.
Ket: Setiap edisi, Koran Pak Oles didistribusikan ke setiap cabang se-Indonesia. Distribusi KPO ini telah menjadi bagian dari kerja sama dengan percetakan PT Antar Surya Jaya Surabaya.

Mengaca pada judul tulisan Bara Yang Tak Kunjung Berabu itu, maka asumsi-asumsi itu sah-sah saja, sekalipun itu berselimut realitas plus-minus atau hitam-putih yang penuh nuansa debat kusir di ranah publik nan kompromis. Hanya saja, ceceran realitas, bisa saja plus-plus dan minus-minus, dan atau hitam ya hitam lalu putih tetap putih. Izinkan kami mengutip kalimat Thomas Jefferson berikut untuk memperkaya catatan ini. ‘’Jika saya harus memutuskan, memilih pemerintahan tanpa koran atau koran tanpa pemerintahan, saya tak akan ragu memilih yang kedua’’. (Surat kepada Kolonoel Edward Carrington, 17 Januari 1787). Bila pernyataan ini diajukan dari sisi bisnis kepada Pak Oles sesuai eksistensi media Group Pak Oles, ‘’Jika anda harus memutuskan, memilih membangun bisnis tanpa media atau media tanpa membangun bisnis, tentu jawabnya agak berbeda karena yang pasti, justru tidak kedua-duanya jadi pilihan, karena yang pasti, membangun bisnis dan membangun media (informasi)’’.
Dalam era bisnis informasi digital seperti sekarang, siapa yang lebih banyak menguasai informasi, justru menjadi yang pertama mendapat peluang dan siapa yang ingin maju cepat dan tepat, informasi menjadi produk terpenting. Karena itu informasi harus digali dan dikelola serius, minimal dengan membaca demi meningkatkan budaya masyarakat baca (reading society) ke masyarakat belajar (learning society). Artinya, secara lebih reflektif dapat tersemai; informasi sebagai pasar gelap yg terang benderang.
Ini penting agar kita tidak terjebak dalam satu bidang tugas kecerobohan, kesalahan dan ketidakcermatan. Sebab, dalam aksi-aksi kemanusiaannya, seorang manusia bisa saja bertindak sebagai homo faber (pembuat dan pemakai), homo sapiens (pemikir atau bijak) dan homo symbolicum (pengguna simbol). Semua mengarah ke sentralitas manusia sebagai pemilik pengetahuan dan penguasa teknologi informasi di dalam kegiatan kemanusiaan. Tentu, yang wajib diusung setiap insan jurnalis di era industri media terkini adalah, membangkitkan kesadaran untuk mengetahui dan mengemban visi tanpa harus mengusung misi vita contemplativa ke vita activa, —dari apakah sesuatu itu, ke bagaimanakah sesuatu bisa bekerja, dan menempatkan homo faber dan animal laborans sebagai sebuah strategi yang kuat.
Memilih menekuni profesi sebagai manusia pewarta dalam industri media, maka harus juga siap meningkatkan SDM guna mengimbangi bidikan keseriusan untuk membangun industri informasi dan teknologi yang agak unik; Mandiri, Gratis dan Banyak (radio dan oplah). Artinya, media yang dibangun Pak Oles tidak mesti ada untuk mendatangkan iklan agar bisa untung meski harus berjuang ekstra demi meningkatkan informasi dan pemasaran produk-produk (bisnis). Karena cerminan visi dan mis yang demikian tegas, bukan berarti menjual jam siar iklan dan space halaman KPO dan MONTORKU secara murah sembari menjadi wartawan yang asalan-asalan menulis berita.

Ket: Pak Oles dan Pemred Albert Kin Ose bertemu Pak Koko kepala operasional Percetakan Antar Surya Jaya untuk membahas hal-hal teknis percetakan.

Di tengah tumbuh suburnya aneka media serba gratis, tetap membias pada terciptanya gejolak (iklan) yang kompetitif. Itu belum diperparah menjamurnya internet melalui warnet, yang diproyeksikan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, sudah berada pada pertumbuhan 30% di tahun 2004 atau 16 juta orang pengguna jasa internet di akhir 2005 dan konon oleh banyak perusahaan dianggap sebagai potensi pasar media terbesar dibanding pasar media cetak. Kondisi ini, oleh Dan Okrent, mantan Pemred Life, dan kini Redka kelompok media Time Inc menyebut sebagai era jurnalisme digital yang dibangun di atas tumpukan kertas dan lumuran tinta.
Kami masih sangat yakin, kecepatan dan percepatan teknologi informasi akan terus melaju dan makin terjangkau, baik jumlah maupun harga. Untuk ‘’media lama’’ seperti surat kabar, majalah, bahkan brosur pun akan kian mahal, baik karena ongkos produksi maupun distribusi. Secara ekonomis, ‘’media lama’’ akan terlilit siklus yang sulit bersaing. Wajar, bila konsep marketing lama tanpa didukung strategi, visi, misi dan produk sendiri, kian menyuburkan mati hidupnya media di Indonesia. Potret ini bukan saja terjadi di Bali, Jakarta atau Surabaya, tetapi hampir di semua daerah di Indonesia, sekaligus menjadi penyokong ketepurukan prilaku dan mental sebagian wartawan Indonesia.
Bercermin pada realita pembangunan industri media terkini, maka setiap insan jurnalis plus harus tetap kokoh mengawal setiap jengkal informasi sesuai rubrik atau program siaran secara profesional dengan mengedepankan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar jurnalistik; bebas dan bertanggung jawab, tanpa menghilangkan prinsip kerja jurnalisme. Dengan begitu, secara tidak langsung berperan aktif membangun informasi dan menjual produk yang diproduksi perusahaan sehingga bara yang tak kunjung berabu itu, tidak cepat-cepat menjadi bara yang berdebu dan berceceran memori.

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman