Penulis

Buku Putih Koran Pak Oles ditulis oleh Beny Ule Ander, jurnalis Koran Pak Oles. Sebuah "saripati" eksistensi koran sebagai media informasi yang mengedukasi pasar, konsumen dan branding perusahaan.
Kontak penulis di email aktif: benyuleander@gmail.com

KAWASAN TEMPUR

KAWASAN TEMPUR

Senin, 07 Januari 2008

V Membangun Media Gratis Dalam Koridor Jurnalistik

Ket: Perekrutan wartawan pemula disertai dengan pendidikan jurnalistik yang diberikan oleh para wartawan senior dari Antara. Penyegaran materi jurnalistik rutin digelar di POC.

Sejarah pertumbuhan media massa tidak terlepas dari perebutan kue iklan lokal, nasional dan internasional di era global ini. Banyak koran yang bangkrut karena tidak kebagian kue iklan alias kalah bersaing. Ada media tertentu yang memilih milah khalayak demi kepentingan iklan. Isinya sengaja dibuat untuk mereka yang punya minat, kepentingan, aspirasi atau hobi yang sama. Media seperti ini, menurut William L Rivers punya khalayak terbatas tetapi disukai pengiklan yang produknya sesuai. Contoh majalah-majalah Surfing, Cosmo, Government Photography atau Musikal Electronis.
Benarkah media yang tidak tergantung pada iklan bisa hidup? Tidak semua media mengandalkan iklan sebagai sumber pendapatan utama. Ada koran bisa hidup tanpa iklan selama dua hingga tiga abad, termasuk majalah. Bahkan, buku dan film tidak pernah tergantung pada iklan. Coba lihat majalah saku Rider’s Digest yang terbit perdana di sebuah kolong bangunan di Greenwich Village dari tahun 1922 hingga April 1955. Selama 33 tahun, Rider’s Digest tidak pernah memuat iklan.
Meski begitu, isi setiap media massa berjuang untuk memaksimalkan khalayak yang dituju. Biaya produksi media apa saja bersifat tetap. Namun bila suatu media berhasil melampaui titik impas (break event point), laba yang diperolehnya sangat besar. Karena itulah media berlomba jangkau pasar demi melampaui titik impas dan meraih laba.

Ket: Calon wartawan angkatan tahun 2007 sedang mengikuti pelatihan jurnalistik di POC.Tidak semua pengelola (pemilik) atau penanggung jawab media ‘dikaruniai visi’ jalan cepat melampaui titik impas dan meraih untung. Banyak media mati muda. Diawali perselisihan karyawan (wartawan/ti) dan manajemen soal gaji dan status karyawan seperti yang pernah dialami koran kriminal Pos Kota yang lalu menjadi Bengawan Pos. Di Bali sendiri sudah puluhan koran lokal terpaksa gulung tikar. Sementara Koran Pak Oles (KPO) bisa bertahan di atas tujuh tahun, dicetak dalam oplah yang besar dan diedarkan gratis di Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, NTB dan Makassar. Gratis, kog tidak mati-mati? Perlu ditanya, kenapa?
  1. Membaca Tren Koran Gratis

Selama ini Koran Pak Oles dan Montorku menancapkan garis edar berita mingguan secara gratis kepada pembaca. Tren media gratis ini sebenarnya sudah menjadi trend industri media massa modern.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, industri surat kabar di seluruh dunia telah menyaksikan betapa cepatnya perkembangan koran gratis kelompok usaha penerbitan Metro yang berbasis di Swedia, telah merambah ke puluhan kota metropolitan di seluruh penjuru dunia. Metro, yang diterbitkan oleh Metro International, yang hadir pertama kali tahun 1995 di Stockholm, kini telah hadir di 78 kota di 17 negara dalam varian 56 edisi. Bersama Metro, kini juga hadir harian 20 Minutes –diterbitkan oleh Schibsted dan bermarkas di Paris—yang telah terbit sebanyak 13 edisi di tiga negara. Di Inggris Raya, Metro yang diterbitkan oleh Associated Newspapers juga beredar di delapan wilayah negeri itu secara gratis.

Ket: Ruang awal pemred saat baru pindah kantor dari Jl Komodo ke Jl Neptunus. Awalnya dirintis dalam kesederhanaan dan keterbatasan fasilitas, tapi inovasi dan kreativitas terus diproduksi.

Harian pagi gratis Metro di London, misalnya, kini sudah menyebar ke beberapa kota lain di luar Manchester dan setiap harinya mencapai oplah sekitar 1,9 juta, lebih tinggi dari koran-koran ternama Inggris seperti The Times atau The Guardian, yang masih harus dibeli.
Kalau koran Metro diletakkan di rak-rak kereta api atau bis agar orang tinggal mengambil sendiri. Sedangkan dua Koran gratis lainnya yaitu The Londonpaper dan London Lite secara aktif ditawarkan kepada orang yang lalu lalang saat jam pulang kantor di Kota London. Rata-rata dicetak 400.000 ex setiap hari. Jelas pemasang iklan tidak keberatan menghabiskan ongkos iklan ke koran bersangkutan.
Meski didistribusikan gratis, tapi sasaran sama yakni meraih konsumen/pelanggan sebanyak-banyaknya. Artinya koran tetap gratis tapi keuntungan mengalir. Dan memang begitulah tren di beberapa tempat dunia.
Di Kopenhagen, ibukota Denmark, tahun 2006 saja terbit 4 koran gratis. Jadi apakah kelak koran di masa depan akan gratis semua?

  1. Strategi Liputan Koran Gratis Agar Tetap Dibaca Pembaca
Saat ini tak sulit menemukan majalah atau tabloid yang membahas masalah teknologi informasi atau masalah supranatural. Pembaca memiliki banyak pilihan sesuai dengan informasi yang dibutuhkan.
Banyaknya majalah dan tabloid di pasaran menjadi persoalan bagi pengelola media cetak. Di samping persaingan yang ketat antara sesama majalah dan tabloid di segmen dan positioning yang sama, kehadiran majalah gratis juga menambah runcingnya persaingan memperebutkan pembaca dan pengiklan. Jumlah majalah dan tabloid yang bertambah tiap tahun tidak sebanding dengan perolehan kue iklannya. Nielsen Media Research mencatat, majalah dan tabloid memperoleh sekitar empat persen kue iklan nasional.

Sementara kehadiran internet dan media digital sebagai media informasi dan berita juga menambah beban persaingan media cetak ini. Bila teknologi internet mampu menembus seluruh pelosok Nusantara, bisa dipastikan menggerus jumlah pembaca majalah dan tabloid. Internet dan media digital akan menjadi alternatif pengiklan sebagai sarana promosi merek mereka.
Dari sejumlah fenomena global yang berkembang di industri suratkabar tersebut, fenomena koran gratis rupanya belum menjadi tren yang berkembang di Indonesia. Ini sangat beralasan jika mayoritas pasar pembaca surat kabar gratis adalah para pengguna transportasi publik bawah tanah, maka prasyarat ini di Indonesia memang belum tersedia. Namun begitu, perkembangan lain yang melanda industri surat kabar global dan nasional yaitu membangun kualitas berita yang bermutu, mendidik, menarik dan menghibur pembaca.
Saat ini terjadi ‘perang tanding’ antara koran-koran nasional dan koran lokal/daerah. Koran-koran nasional kini mengusung muatan lokal. Tengoklah Kompas, Koran Tempo, Republika maupun Seputar Indonesia (Sindo), yang setiap pekan mengeluarkan halaman khusus berita-berita seputar Jawa Barat atau Jawa Timur. Para pengelola surat kabar nasional tampaknya ingin mengadopsi asas proximity yang selama ini diandalkan pemain surat kabar daerah. Lalu azas apa dalam koridor jurnalistik yang bisa dibangun menjadi ciri atau karakteristik dua media gratis yang terbit di Bali ini?
Lalu apa langkah-langkah strategis yang dibangun oleh SDM yang berkecimpung di Media Pak Oles Group. Meski media gratis tapi tidak dibuang ke tong sampah. Tulisan bisa dibaca kapan saja dan tidak dirasa basi oleh pembaca. Reaksi pembaca adalah tolok ukur mutu liputan dan tampilan. Karena itu wartawan KPO didorong dan dilatih membangun gaya tulisan/laporan yang mengarah pada tulisan evergreen.
3. Gratis Tapi Untung, Tanya Kenapa?
Efisiensi untuk menjangkau khalayak luas, itulah jalur yang ditempuh. Meski tidak bergantung total pada kue iklan lokal apalagi iklan yang konon dianggap nasional, KPO tetap menyadari besarnya pengaruh khalayak terhadap kandungan rubrikasi dan isi media. Demi menjangkau khalayak yang sebanyak-banyaknya, media akan sedapat mungkin menyesuaikan diri pada selera, kepentingan dan atau nilai-nilai mayoritas. Itulah aspek dinamika KPO sebagai lembaga pers yang tetap mengusung ideologisasi pers dan industrialisasi pers.
Pernyataan riil soal siapa pembaca KPO sudah bisa dijawab lugas dan tuntas. Ya, tentu mayoritas konsumen Ramuan Pak Oles. Liputan yang besar pada sebuah surat kabar niaga mungkin dianggap sebagai indikasi sukses dalam kaitannya dengan pers, sementara liputan di antara media yang melayani konsumen akan lebih relevan daripada hanya liputan yang dilakukan pesaing. Karena itu, KPO tidak dibangun dengan ‘gairah’ ekspansi oplah untuk bersaing secara liar dengan media lain tetapi tetap ekspansi informasi yang seluas-luasnya. Itulah jalan smart mengamankan titik impas plus membuka jalan lempang menabur visi pemberdayaan komunitas pertanian organik, pertambakan, perikanan, pengolahan limbah, kesehatan manusia berbasis teknologi effeftive microorganisms (EM).
Dengan kekuatan media, sebuah produk atau aneka program bisa diukur atau direkam efektivitas dan efisiensinya bagi internal perusahaan dan gemanya bagi publik. Jika efektifitas dan efisiensi sebuah proses produksi atau kegiatan sebuah perusahaan ada parameternya, tentu memudahkan pimpinan perusahaan dalam menentukan sebuah patokan kebijakan yang harus dituju dan tentu diraih. Sebenarnya sudah banyak perusahaan yang tahu atau peduli dengan kekuatan media ini. Namun, biasanya enggan membangun media sendiri. Mereka melimpahkan pekerjaan yang bisa dan seharusnya dilakukan oleh tim internal ke agency periklanan atau perusahaan riset. Akibatnya terjadilah pembengkakan biaya, informasi yang ditangkap publik bisa bias, kabur dan visi akbar yang diusung untuk kesejahteraan bersama akhirnya mendekam di deretan halaman AD/RT perusahaan.

Ket: Perekrutan wartawan pemula disertai dengan pendidikan jurnalistik yang diberikan oleh para wartawan senior. Penyegaran materi jurnalistik rutin digelar di POC.

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman