

MEMBANGUN INFORMASI MENCIPTAKAN PASAR
Pada bab ini, publik diajak untuk membedah efektivitas dan efisiensi PT Karya Pak Oles Tokcer mendirikan Divisi Humas Pak Oles Center yang mengelola dua media, Koran Pak Oles (KPO) dan Tabloid Otomotif Montorku. Menilik pengambilan nama OLES menimbulkan kesan ‘koran yang dikelola asal-asalan’. Sabar dulu! Oles adalah nama historis yang tak bisa dihapus begitu saja, apalagi disangkal keberadaannya. Oles berarti: Organik, Lestasi, Sehat dan Sejahtera.
Sebuah visi yang tajam, jelas dan merakyat. Perlu ditulis ulang sebagai pintu masuk penegasan eksistensi KPO bukan sebagai media promosi setara brosur atau pamflet iklan. Meski ada iklan full tentang produk Ramuan Pak Oles dan ulasan soal kegiatan perusahaan.
Pendirian atau eksistensi dan kontinuitas sebuah media massa bersendikan 4 pilar ‘konvensional’ meliputi visi dan misi dengan cakupan idealisme yang ingin direngkuh, barisan SDM meliputi awak redaksi, tim marketing dan distribusi yang memiliki kecerdasan inovatif dan emosional, sistem manajemen yang terorganisir, dan terakhir adalah sumber dana atau modal ‘awal’ menuju tahapan break event point.
Visi, misi, perekrutan SDM dan distribusi KPO sudah dipaparkan pada tulisan sebelumnya. Yang perlu diulas adalah soal iklan. Sebagai media, jelas KPO membutuhkan iklan sebagai napas pembiayaan operasional. Iklan itu adalah Ramuan Pak Oles. Jadi KPO sebatas mempromosikan ramuan tradisional racikan Dr Ir GN Wididana, M.Agr yang lalu populer dengan panggilan Pak Oles? Sabar dulu. KPO adalah media yang dibangun perusahaan obat tradisional ini untuk mempercepat proses penyebaran informasi soal pengembangan dan aplikasi teknologi Effective Microorganisms (EM) di bidang pertanian, kesehatan, peternakan dan pengolahan limbah.
Dan dalam perkembangannya, KPO kini kian memantapkan diri sebagai media cetak yang memperjuangkan pasar jamu tradisional di Indonesia. Inilah keputusan taktis yang visioner. Bayangkan, KPO tidak sekedar menulis produk Pak Oles, tetapi juga dengan serius memberitakan perkembangan produk-produk obat tradisional di Indonesia, termasuk Jamu Djago, Nyonya Meneer, Mustika Ratu, Sido Muncul, Marta Tilaar Spa, dan perusahaan jamu tradisional lainnya. Kompetisi pasar domestik ditinggalkan lalu dibangun segmen pasar obat tradisional. KPO terus berupaya menjadi media yang menyajikan berita soal standar mutu, khasiat dan respek pasar obat tradisional.
Pilihan membangun media sendiri adalah langkah strategis dalam pengawalan berita yang sistematis, terarah dan kontinyu. Plus, memangkas biaya advetorial, budget iklan dan penciptaan lapangan pekerjaan. KPO memang bukan pintu tunggal mengalirkan ragam informasi soal pengembangan dan aplikasi teknologi EM di berbagai bidang kehidupan. Ada APNAN News yang menyajikan berita EM di berbagai belahan dunia. Juga media
Namun setidaknya, KPO menjadi media yang secara rutin menyajikan dan mengulas sekaligus sumber informasi teknologi EM bagi khalayak ramai, terutama praktisi pertanian organik di
Koran yang diedarkan secara gratis di Indonesia dengan oplah yang besar menjadi bukti faktual bahwa KPO berjalan di koridor manajemen yang tepat. Informasi teknologi EM menjalar cepat dari
Sebuah idealisme yang tidak digantung di menara gading teoritis. Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) sebagai pusat pendidikan kilat dan pelatihan terpadu aplikasi teknologi EM dikunjungi praktisi pertanian dari Sabang sampai Merauke, dan aktivitas direkam dalam rubrik-rubrik KPO. Suatu proses yang berjalan maksimal. Sebab apalah artinya membangun sebuah idealisme sementara perut keroncongan. Bukankah idealisme apapun termasuk membumikan cinta kasih berbuah kesejahteraan?
KPO sampai kapanpun harus dan di dalam ‘jiwanya’ terpatri, terpahat dan tertanam semangat militansi memasyarakatkan teknologi EM. Gairah militan ini lahir dari puncak kesadaran bahwa sebuah upaya nyata untuk menyejahterakan masyarakat, menjaga kelestarian alam dan meningkatkan produktivitas pangan dunia harus dipertahankan ‘habis-habisan’ di tengah budaya kapitalis yang angkuh, mengeksploitasi alam dan mengeksploitasi berita demi untung, saham, duit dan kerajaan bisnis.
Karena itu KPO secara eksternal harus siap menjadi musuh dan sasaran cercaan media massa yang asal menyajikan ‘upaya-upaya bulus’ program pertanian organik atau aneka proyek pertanian, peternakan atau pengolahan limbah musiman yang selalu terbukti merugikan rakyat. Mengapa? Jawabnya sederhana. Kehebatan sebuah program harus berujung pada kesejahteraan rakyat. Bila program demi program pembangunan terus bergulir tetapi perut rakyat terus kembang-kempis pasti di
Di titik ini, KPO tidak mencari atau mengupayakan publisitas semu. Benarkah? Publisitas dirancang terutama untuk menarik perhatian dan menciptakan kesadaran. Publisitas mengolah kesan yang disukai atau tidak disukai. Publisitas bisa dipandang sebagai suatu hasil, konsekuensi atas beberapa pemunculan atau dikenalnya beberapa informasi, bisa atau tidak bisa dikendalikan. Karenanya tidak semua publisitas dicari tetapi dihindari, mungkin melalui suatu kebocoran atau kehati-hatian.
Ya, terlontar kegamangan. Bukankah publisitas merupakan instrumen yang tidak efektif dalam meningkatkan penjualan? Anthony Davis, pakar PR asal Amerika dan penulis Everything You Should Know About Public Relations (2003) memberikan jawaban memuaskan. Jika publisitas yang dilakukan tidak memiliki ketepatan pesan, isi dan arah, maka publisitas jelas merupakan instrumen yang tidak efektif untuk meningkatkan penjualan. Jika publisitas ditanggapi serius, maka penjualan pun jelas meningkat. Kreativitas rubrikasi dan pengolahan materi adalah inti dari publisitas.
Sebuah media komunikasi yang profesional, sistematis, fokus akan berinkarnasi jadi lembaga pers. Itulah sebabnya, singgung Davis, banyak jurnalis yang kemudian melamar jadi PR. Bukan karena PR sebuah pekerjaan yang jauh dari tekanan deadline tetapi karena sistem kerjanya lahir dari sebuah kesadaran untuk meramu dan mengawal informasi hingga mencapai sasaran dituju.
Sejarah pertumbuhan media
Benarkah media yang tidak tergantung pada iklan bisa hidup? Tidak semua media mengandalkan iklan sebagai sumber pendapatan utama.
Meski begitu, isi setiap media
Selama ini Koran Pak Oles dan Montorku menancapkan garis edar berita mingguan secara gratis kepada pembaca. Tren media gratis ini sebenarnya sudah menjadi trend industri media
Dalam kurun 10 tahun terakhir, industri
Harian pagi gratis Metro di London, misalnya, kini sudah menyebar ke beberapa kota lain di luar Manchester dan setiap harinya mencapai oplah sekitar 1,9 juta, lebih tinggi dari koran-koran ternama Inggris seperti The Times atau The Guardian, yang masih harus dibeli.
Kalau koran Metro diletakkan di rak-rak kereta api atau bis agar orang tinggal mengambil sendiri. Sedangkan dua Koran gratis lainnya yaitu The Londonpaper dan London Lite secara aktif ditawarkan kepada orang yang lalu lalang saat jam pulang kantor di Kota
Meski didistribusikan gratis, tapi sasaran sama yakni meraih konsumen/pelanggan sebanyak-banyaknya. Artinya koran tetap gratis tapi keuntungan mengalir. Dan memang begitulah tren di beberapa tempat dunia.
Di Kopenhagen, ibukota
Sementara kehadiran internet dan media digital sebagai media informasi dan berita juga menambah beban persaingan media cetak ini. Bila teknologi internet mampu menembus seluruh pelosok Nusantara, bisa dipastikan menggerus jumlah pembaca majalah dan tabloid. Internet dan media digital akan menjadi alternatif pengiklan sebagai sarana promosi merek mereka.
Dari sejumlah fenomena global yang berkembang di industri suratkabar tersebut, fenomena koran gratis rupanya belum menjadi tren yang berkembang di Indonesia. Ini sangat beralasan jika mayoritas pasar pembaca
Saat ini terjadi ‘perang tanding’ antara koran-koran nasional dan koran lokal/daerah. Koran-koran nasional kini mengusung muatan lokal. Tengoklah Kompas, Koran Tempo, Republika maupun Seputar Indonesia (Sindo), yang setiap pekan mengeluarkan halaman khusus berita-berita seputar Jawa Barat atau Jawa Timur. Para pengelola
Lalu apa langkah-langkah strategis yang dibangun oleh SDM yang berkecimpung di Media Pak Oles Group. Meski media gratis tapi tidak dibuang ke tong sampah. Tulisan bisa dibaca kapan saja dan tidak dirasa basi oleh pembaca. Reaksi pembaca adalah tolok ukur mutu liputan dan tampilan. Karena itu wartawan KPO didorong dan dilatih membangun
3. Gratis Tapi Untung, Tanya Kenapa?
Efisiensi untuk menjangkau khalayak luas, itulah jalur yang ditempuh. Meski tidak bergantung total pada kue iklan lokal apalagi iklan yang konon dianggap nasional, KPO tetap menyadari besarnya pengaruh khalayak terhadap kandungan rubrikasi dan isi media. Demi menjangkau khalayak yang sebanyak-banyaknya, media akan sedapat mungkin menyesuaikan diri pada selera, kepentingan dan atau nilai-nilai mayoritas. Itulah aspek dinamika KPO sebagai lembaga pers yang tetap mengusung ideologisasi pers dan industrialisasi pers.
Pernyataan riil soal siapa pembaca KPO sudah bisa dijawab lugas dan tuntas. Ya, tentu mayoritas konsumen Ramuan Pak Oles. Liputan yang besar pada sebuah
Dengan kekuatan media, sebuah produk atau aneka program bisa diukur atau direkam efektivitas dan efisiensinya bagi internal perusahaan dan gemanya bagi publik. Jika efektifitas dan efisiensi sebuah proses produksi atau kegiatan sebuah perusahaan ada parameternya, tentu memudahkan pimpinan perusahaan dalam menentukan sebuah patokan kebijakan yang harus dituju dan tentu diraih. Sebenarnya sudah banyak perusahaan yang tahu atau peduli dengan kekuatan media ini. Namun, biasanya enggan membangun media sendiri. Mereka melimpahkan pekerjaan yang bisa dan seharusnya dilakukan oleh tim internal ke agency periklanan atau perusahaan riset. Akibatnya terjadilah pembengkakan biaya, informasi yang ditangkap publik bisa bias, kabur dan visi akbar yang diusung untuk kesejahteraan bersama akhirnya mendekam di deretan halaman AD/RT perusahaan.
Ket: Perekrutan wartawan pemula disertai dengan pendidikan jurnalistik yang diberikan oleh para wartawan senior. Penyegaran materi jurnalistik rutin digelar di POC.
Denpasar, 25 Mei 2003 di Pak Oles Centre (POC). Albert Kin Ose Moruk (Pemred KPO & Montorku) dan Pimpinan Media Group Pak Oles, Dr Ir GN Wididana, M.Agr terlibat dalam sebuah diskusi serius tentang dua hal. Pertama, seputar konsep (visi dan misi) membangun industri informasi (cetak maupun elektronik). Kedua, tentang seberapa besar pengaruh ilmu pengetahuan dan managemen terhadap eksistensi sebuah industri di era globalisasi. Diskusi sampai larut malam itu bertepi pada simpul-simpul yang tak lazim. Karena sangat terbuka, dari hati ke hati, berbagi dari secuil pengalaman praktis, jelas tanpa terbungkus dalam rahim-rahim kamuflase.
Pada simpul-simpul nyeleneh itu, terurai dua topik bahasan secara lugas dan tegas dengan kemandirian sikap, —swadaya dan swakelola. Konsep pertama bermuara pada SIMT (Sistem, Informasi, Managemen dan Teknologi). Praktisnya, membangun sebuah industri media di era kekinian, minimal didukung Semberani (Keseimbangan dan Keberanian), Visi, Tujuan, Kualitas (isi=wartawan), Kuantitas (oplah dan areal distribusi), Iklan, Untung dan Sejahtera.
Sedangkan konsep kedua bertepi pada terciptanya industri, lalu barang (produk dan atau jasa), informasi, pasar dan akhirnya ada uang. Jadi, SDM yang ber-Iptek harus menghasilkan uang, barang dan atau jasa. Agar ada uang, barang dan jasa, selain tetap berjalan di atas SIMT, juga informasi harus diketahui pembaca secara gratis, cepat dan tepat. Koran Pak Oles dengan tiras 220 ribu eksemplar, tebal 16 halaman (8 halaman berwarna) itu diedarkan secara ngacak dan gratis sejak awal tahun 2000, dan Tabloid Otomotif MONTORKU, 24 halaman full colour sejak 5 September 2004.
Di London, Inggris, sejak Minggu pertama September 2006, terbit dua koran gratis; London Lite diterbitkan Asosiasi Surat Kabar Inggris dan Thelondonpaper milik juragan Koran ternama dunia, Rupert Murdoch. Keduanya terbit sore dengan 48 halaman full colour, bertiras 400 ribu eksemplar dengan sasaran pembaca kaum muda (18-35 tahun), generasi yang dianggap tidak punya kebiasaan membaca Koran. Kedua Koran ini, seperti ditulis Majalah TEMPO (Edisi 25 September-1 Oktober 2006, Kolom Media, Hal 52), ingin meniru sukses Metro, koran pagi gratis terbitan Asosiasi Surat Kabar Inggris dengan segmen pembaca kaum muda. Metro bahkan sudah menjadi ikon harian gratis di Eropa dan Amerika. Hingga Juli 2006, Metro sudah terbit di 14 negara Eropa dengan tiras 5,4 juta eksemplar, dan 1,9 juta pembaca tersebar di Inggris.
Bagi Murdoch, pemilik The Sun, The Times dan Sunday Times, melalui kelompok News International sudah menerbitkan koran gratis MX di
Di Indonesia, memang sudah banyak tabloid yang beredar gratis. Di Bali, misalnya ada puluhan tabloid (bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa Jepang) yang pernah terbit selama tiga tahun terakhir, namun cepat hilang dari peredaraan. Pemicunya, sangat klasik karena didera biaya produksi. Potret buram yang terus membuntuti eksistensi hidup matinya sebuah media gratis, termasuk yang tidak gratis, karena kurang kokoh fondasi SIMT, tidak memiliki produk yang siap dipasarkan, visinya melirik kue iklan sesaat, ingin cepat-cepat meraih untung dan tidak memiliki inovasi produk informasi, —ada media cetak dan elektronik.
Di simpul ini, hendaknya para pemilik modal dan pengelola yang berencana membangun industri media cetak, membangun visi baru. Soal ada tidaknya kue iklan dan apalagi untung, itu urusan paling buntut. Sebab, kue iklan tetap menjadi milik media-media top leader, baik terbitan
Melihat fenomena pembangunan industri media di Indonesia belakangan ini, sudah saatnya bangkit kesadaran baru bahwa industri jurnalistik di Indonesia sedang menembakan pena-pena wartawan dari pers yang ideologisasi ke pers industrialisasi, bila tidak ingin ketinggalan kereta sama brosur, majalah, tabloid dan koran baru berlisensi luar negeri, yang tanpa harus menyusun konsep analisis soal kepentingan komunitas, tanpa harus menerapkan standar kerja jurnalistik ketat dan terlatih. Sejumlah majalah bisa langsung terbit dan laku, disokong kuatnya jaringan distribusi dan penjualan.
Meski begitu, hampir semua media gratis tetap berkiblat pada empat hal. Pertama, Manajemen Informasi (perancangan strategi dan kebijakan informasi yang menghasilkan data akurat bagi keperluan internal) maupun eksternal (penyampaian informasi tentang produk kepada masyarakat luas). Kedua, Teknologi Informasi (perancangan bentuk jaringan peralatan dan sarana untuk menunjang pelaksanaan strategi dan kebijakan data efektif dan efisien). Ketiga, Manajemen Komunikasi (perancangan strategi dan kebijakan komunikasi yang berperan menjalin pola komunikasi untuk promosi dan distribusi pesan tentang sebuah produk. Keempat, Teknologi Komunikasi (rancangan bentuk komunikasi efektif dan efisien dalam menyampaikan berita demi meningkatkan citra produk).
Akhirnya, mari kita renungkan dua media ternama di Asia Pasifik yang harus goodbye pada November 2001 dan akhir tahun 2004. Pertama, Time Inc dengan Asiaweek (majalah mingguan berbahasa Inggris yang cukup berwibawa untuk kalangan bisnis dan politik di kawasan
Pesaing dekatnya, Far Eastern Economic Review, milik kelompok usaha Dow Jones & Co, yang seolah mendapat runtuhan durian dengan meraup pangsa pasar yang ditinggalkan Asiaweek menyusul tutup di akhir tahun 2004, meski sudah membangun reputasi spesifik di kawasan Asia Pasifik dan telah beroperasi lebih dari setengah abad (terbit pertama kali tahun 1946).
Jadi, dalam waktu berdekatan, dua mingguan berita berbahasa Inggris terbesar dan terbaik di kawasan
Apa yang sebenarnya terjadi? Inikah tanda-tanda berakhirnya peran media berita cetak, seperti yang sudah mulai diributkan sejumlah pemerhati media sejak pertengahan 1990-an mengiringi kemunculan internet? Benarkah faktor perkembangan teknologi jadi penentu yang mematikan media cetak? Mengapa setelah syarat SIUPP dicabut, ancaman bredel hilang, majalah berita dan koran berita ikut hilang di
Pada tikungan ini, tersemai gugahan pemacu daya kreatif membangun industri media bahwa di balik temaram plus minus media; jurnalisme tabloid dan jurnalisme infotainment yang digarap lebih fokus, pasti mendapat bidikan pasar yang memikat, dengan topangan yang menyatu dalam Sistem, Informasi, Managemen dan Teknologi. Sadar atau tidak, dalam rahim-rahim jurnalisme, seakan sedang terjadi pergeseran idealisme di tingkat politik redaksi meski agak tipis dibedakan; berita menjadi hiburan dan hiburan menjadi berita, sembari menebar prinsip klise; desain adalah perkara solusi, sedang
Koran Pak Oles lahir dari sebuah kreativitas seni mengelola media secara independen. Artinya, media tersebut dikelola secara mandiri dan gratis. Tentu saja hal ini merupakan jurus menejemen media yang benar-benar baru, yaitu dari kita untuk kita dan oleh kita. Yang dimaksud dengan kita di sini adalah keluarga besar olesmania, konsumen dan penggemar setia ramuan Pak Oles.
Koran Pak Oles pertama kali hadir dalam bentuk kecil dan sederhana, yang pada awalnya adalah hasil dari riset pasar coba-coba. Pemikiran praksis membangun media ini diterapkan untuk menjawab tantangan perusahaan induknya PT Karya Pak Oles Tokcer, yaitu bagaimana caranya untuk mengedukasi pasar sehingga pencitraan dan pemasaran Ramuan Pak Oles bisa meningkat dan dipertahankan.
Dari segi nama, Koran Pak Oles memiliki nama yang unik, mungkin terunik di dunia, karena mengusung nama produk, nama orang dan nama perusahaan yang membidangi. Dari segi nama perusahaanpun belum ada nama perusahaan yang bernama dengan kata: Pak, Oles dan Tokcer. Pada awalnya nama Koran Pak Oles memang aneh didengar bukan saja oleh masyarakat pembacanya, tapi juga oleh wartawan Koran Pak Oles dan seluruh karyawan Pak Oles. Dengan kesabaran dan ketekunan, Pak Oles menjelaskan visinya membangun media ‘’nyentrik’’ ini, akhirnya nama koran Pak Oles diterima di hati masyarakat.
Dalam tiga tahun pertama, banyak wartawan yang menangis gara-gara dilecehkan nama korannya oleh narasumber dan rekan-rekan wartawan media lain. Bahkan ada narasumber dari universitas, lembaga penelitian dan eksekutif perusahaan menutup rapat pintunya agar tidak ditemui oleh wartawan Koran Pak Oles, karena takut namanya jeblok gara-gara menjadi narasumber di koran picisan. Tentu saja, hal ini menjadikan banyak wartawan Koran Pak Oles menjadi stres, frustasi, patah semangat dan muntaber (mundur tanpa berita). Bahkan ada beberapa pengamat media dari eksekutif perusahaan dan profesor perguruan tinggi mengatakan, perusahaan Pak Oles bisa gulung tikar karena melakukan bisnis media yang visinya tidak jelas.
Untuk membalas komentar miring dari pengamat-pengamat media yang tidak berpengalaman dalam mengelola media, atau ledekan-ledekan kecil dari wartawan-wartawan lain yang menciutkan nyali wartawan Koran Pak Oles, atau untuk membuka pintu wellcome dari nara sumber, Pak Oles membuat jurus baru dengan meningkatkan oplah korannya menjadi 220 ribu eksemplar dan mencantumkan motto koran menjadi “Jangan Anggap Enteng, terbit 220 ribu eksemplar dan tersebar ngacak di seluruh Indonesia.” Tentu saja hal ini membuat pengelola media lain membelalakkan mata dan mengunci mulut para pengamat media dan wartawan -wartawan lain menjadi tidak berkomentar lagi.
Koran Pak Oles ibarat magma di dalam perut gunung berapi, yang terlihat hanya berupa semburan uap-uap panas di atas puncak gunung, karena sebaran dan daya penetrasi informasi ke pembaca yang sangat luas dan dalam, tapi panasnya sudah dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di bawah gunung berupa mata air-mata air yang panas dan tersebar ngacak. Air panas yang keluar melalui lapisan magma berupa informasi yang dapat menyehatkan masyarakat pembacanya. Media lain dan pengamat mungkin boleh saja menyangkal keberadaan Koran Pak Oles karena mereka melihatnya dari atas bukan dari bawah. Sama halnya dengan mereka yang menyangkal keberadaan aktivitas magma di dalam perut gunung berapi, sebaliknya masyarakat telah menikmati pancaran air panas dari ribuan mata air yang mengalir di bawah gunung.
Pertanyaan yang susah dijawab dengan benar pada tahun-tahun pertama beredarnya Koran Pak Oles adalah apakah Koran Pak Oles diterima oleh pembaca di masyarakat luas. Jawabannya bisa ya atau tidak. Koran Pak Oles diterima karena memang sampai pada tangan pembaca, dan juga bisa tidak diterima karena walaupun sampai di tangan pembaca tetapi tidak dibaca bahkan mungkin dibuang percuma. Untuk rekan-rekan wartawan yang kurang militan atau nyalinya kecil pastilah ngeri jika mendapatkan jawaban yang negatif, karena kerja kerasnya merasa tidak dihargai, atau merasa dirinya kurang berharga. Tapi sekali lagi dengan tegas Pak Oles menjawab pikiran negatif yang ditakuti oleh rekan wartawan. Sekali lagi Pak Oles menegaskan bahwa, “Koran Pak Oles memiliki pembaca setia di masyarakat, yaitu masyarakat pemakai setia Ramuan Pak Oles yang tersebar di seluruh
Sampai tahun 2007, penyebaran pembaca Koran Pak Oles mencakup wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, Bandung, Sumedang, Cimahi, Tasik, Jogjakarta, Magelang, Muntilan, Salatiga, Surabaya, Malang, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Pasuruan, Kediri, Mojokerto, Pamekasan, Genteng, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Jombang, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo, Bali, Mataram, Sumbawa, Bima, Makassar, Lampung dan Bontang.
Dengan sistim distribusi yang kuat, karena didukung oleh tim pemasaran Ramuan Pak Oles yang jumlahnya mencapai 2.000 orang, maka bukanlah hal yang sulit untuk menyebarkan Koran Pak Oles dalam jumlah 220.000 eksemplar selama limabelas hari, yaitu masing masing orang cukup hanya menyebarkan koran sejumlah 7,3 eksemplar per hari. Masalahnya adalah bukan pada bagaimana cara menyebarkan korannya, tetapi bagaimana membentuk tim pemasaran yang kuat dalam jumlah 2.000 orang itu. Tim pemasaran yang kuat dibentuk melalui proses rekruting, pelatihan dan motivasi yang terus menerus. Dengan demikian secara bertahap akan terbentuk agen-agen pemasaran yang kuat. Tentu saja hal ini harus didukung oleh produk yang kuat, yaitu produk yang bermanfaat, mudah didapat dengan harga yang terjangkau.
Dengan semakin meningkatnya usia Koran Pak Oles, dia menjadi semakin profesional dalam mengelola informasi dan sumber dayanya. Informasi yang dikelola tetap fokus pada berita-berita yang dalam dan analisa yang sifatnya tidak basi. Penulis-penulis opini yang berkualitas datang menyumbangkan tulisannya melalui fasilitas internet. Setiap dua minggu masuk lebih dari 50 judul tulisan berkualitas dengan berbagai tema, sedangkan daya muat rubrik opini Koran Pak Oles hanya mencapai 8 buah tulisan setiap kali terbit. Tentu saja persaingan tulisan opini menjadi semakin tajam untuk bisa muncul di Koran Pak Oles. Hal ini justru meningkatkan kualitas penulis dan kualitas Koran Pak Oles di mata masyarakat pembaca. Sumber daya manusia yang merupakan think-tank Koran Pak Oles juga secara terus menerus ditingkatkan melalui proses perekrutan, pelatihan, motivasi dan memperbaiki diri secara kontinyu melalui proses belajar.
Perjalanan panjang dalam mengelola informasi melalui Koran Pak Oles baru dirintis. Hutan belantara yang harus dirabas untuk mengantarkan Ramuan Pak Oles ke dalam rimba pemasaran masih sangat lebat. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tapi setidak-tidaknya Koran Pak Oles merupakan obor penerang, kompas, alat perabas, jimat dan senjata pamungkas tim pemasaran Ramuan Pak Oles untuk mengantarkan produknya dengan selamat di tangan konsumen. Koran Pak Oles juga merupakan selembar
Keterangan foto: KPO diedarkan SPG Ramuan Pak Oles setiap hari di 7 propinsi dan menjadi bacaan alternatif soal pertanian organik, kesehatan herbal dan pengembangan industri otomotif yang ramah lingkungan.
Keterangan foto: Pak Oles Center (POC) terus menerbitkan buku yang telah menjadi agenda tahunan. Peluncuran buku yang diedit Albert Kin Ose kian meramaikan dunia buku Indonesia.
Dari PRO2 FM Sampai Pak Oles FM, Pasti Tokcer
Konsep siaran yang diterapkan radio belum bisa memetakan segmentasi pendengar secara tegas dan jelas, sehingga mengalirnya informasi di udara tidak ditangkap pendengar. Fakta ini jelas merugikan pengiklan karena biaya iklan yang dikucurkan tidak direspon pasar. Di lain pihak, sang pemasar iklan radio terus menebar jaring untuk mencari pemasang iklan, dengan harga yang tinggi dan diskon menggiurkan, dengan informasi produk yang dikemas apik dan menarik berupa brosur dan identitas perusahaan.
Padahal memasang iklan di radio, jika materi promosi, penyiar dan konsep siaran yang tidak tepat sasaran, tidak akan menciptakan pasar. Itulah yang belum dipahami pemasang iklan. Pemasar iklan radio diibaratkan pawang hujan, yang mengaku bisa menurunkan hujan setiap saat, jika musimnya tidak tepat, dan lakunya tidak kuat, yang didapat pasti hujan tidak akan turun, meski bayaran mahal dan mantranya sakti mandra guna sampai memekakkan telinga.
Pada rapat menejemen Agustus 2000, Pak Oles memaparkan strategi informasi yang diterapkan untuk dongkrak pasar dan citra Ramuan Pak Oles di Bali, khususnya. Tentu, strategi pemasaran yang diusulkan membuat kaget manajer pemasaran dan manajer keuangan, karena Pak Oles ingin mendirikan stasiun radio.
Biayanya dari mana? Dengan enteng Pak Oles menjawab pertanyaan ragu dari peserta rapat. “Seluruh biaya iklan radio yang telah kita keluarkan dialihkan untuk mengontrak stasiun radio,” tegas Pak Oles. Selanjutnya Pak Oles memaparkan segala hitungan matematis, ekonomis, keuntungan dan kerugian jika keputusan mengontrak stasiun radio dilakukan. “Dengan biaya kontrak sebuah radio 20 juta rupiah per bulan, biaya produksi dan karyawan radio 15 juta rupiah per bulan, total pengeluaran 420 juta rupiah per tahun, kita sudah menghemat biaya iklan 580 juta rupiah. Jika dibanding biaya iklan radio di stasiun lain sebesar 100 juta rupiah per bulan atau 1,2 milyar per tahun,” papar Pak Oles.
Selanjutnya Pak Oles mengajukan tender kontrak stasiun radio ke RRI Denpasar. Hasilnya Pak Oles memenangkan tender karena berani mengajukan penawaran tertinggi. Sejak Februari 2001, Pak Oles mulai mengelola manajemen Pro2 FM dengan stasiun call Pro2 FM Pasti Tokcer dan menyapa pendengarnya dengan Oles Mania. Lagu-lagu dan format siaran diubah lebih merakyat dengan segmen pasar yang lebih meluas, dari anak muda sampai orang tua.
Dalam waktu enam bulan, radio Pro2 FM Pasti Tokcer jadi terkenal di Kota Denpasar, karena lagu menarik, penyiar menyatu antara pendengar dan format acara. Pada tahun kedua, radio Pro2 FM Pasti Tokcer mulai kebanjiran iklan sehingga biaya kontrak yang harus dikeluarkan perusahaan dapat disubsidi dengan biaya iklan dari luar. Yang menggembirakan, bukan karena mendapat iklan dari luar, tapi penjualan Ramuan Pak Oles di Bali meningkat pesat.
Setelah berakhir masa kontrak dua tahun pertama, Pak Oles mendapatkan
Dengan gigih dan semangat, seluruh karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer fokuskan energi dan pikiran untuk membuat stasiun radio baru. Setelah melewati tahapan konsultasi dan mengurus ijin, serta jungkir balik membangun gedung dan tower baru, dalam waktu enam bulan, tepatnya Agustus 2004 stasiun radio bisa berdiri di Desa Pandak Bandung, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali. Dengan energi yang lebih kuat, radio baru yang merupakan metamorfosa dari Pro2 FM Pasti Tokcer diberi nama Pak Oles FM Pasti Tokcer.
Nama ini terasa lebih menggigit, lebih gesit dan lebih percaya diri daripada sebelumnya. Alasan yang paling masuk akal dan paling mudah diterima, karena radionya sudah menjadi milik sendiri, tidak ngontrak lagi. Alasan lain, karena segmentasi pendengar Pak Oles FM lebih jelas dan tegas. Hanya dalam waktu enam bulan, Radio Pak Oles FM sudah bisa memasuki peringkat 5 besar radio di Denpasar.
Pencitraan Radio Pak Oles FM juga didukung adanya radio mobil yang selalu wara-wiri di keramaian Kota Denpasar, Gianyar dan Tabanan dan siap siaran jarak jauh di berbagai tempat sesuai order. Untuk mendukung program radio mobil, dibentuk tim Off-Air dan tim EO (Event Organizer), yang siap membuat acara peliputan, pertunjukan seni dan hiburan lain di luar stasiun radio.
Kedua nama ini selalu dikumandangkan berulang kali via stasiun radio, selama 18 jam per hari, bertahun-tahun. Kedua nama ini jadi lebih merakyat, lucu, menghibur dan serius. Memang awalnya kata Pak Oles dan Pasti Tokcer aneh dan kurang pas didengar, tapi seiring berjalannya waktu, kedua kata itu jadi mantra sakti mandra guna, sehingga produk Ramuan Pak Oles menjadi dekat dan menyatu dengan masyarakat luas.
Merek merupakan modal maya yang diistilahkan dengan intangible asset, —modal yang tidak terlihat tetapi memiliki kekuatan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Dengan kekuatan merek, suatu produk bisa dipercaya, dekat dengan konsumen, memiliki nilai jual dan laku di pasaran. Merek Ramuan Pak Oles dan Pasti Tokcer merupakan modal maya yang kuat, yang bisa memberikan kepercayaan dan garansi kepada konsumen, bahwa produknya berkualitas dan telah digunakan masyarakat luas.
Membuat merek yang kuat tidak semudah membalik telapak tangan. Itu sangat dibutuhkan sentuhan khusus, kerja keras, kerja tulus, pikiran sehat dan serius, fokus dan terus-menerus. Mengumandangnya mantra sakti mandra guna Ramuan Pak Oles dan Pasti Tokcer di stasiun radio Pro2 FM Pasti Tokcer dan Pak Oles FM Pasti Tokcer kian perkuat posisi dan strategi pemasaran Ramuan Pak Oles di Bali.
Su | M | Tu | W | Th | F | Sa |
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | ||
6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 |
13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 |
20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 |
27 | 28 | 29 | 30 | |||